Jagat mengalami guncangan amat dahsyat. Semesta tunduk patuh penuh hormat. Sementara petaka menjerat iblis terlaknat. Konon, para dedengkot iblis menyuruh anak buahnya menyelediki pemicu peristiwa yang membuat dirinya kalang kabut.
Belakangan, anak buah iblis mengetahui dan melaporkan bahwa peristiwa ini terjadi lantaran datangnya ribuan malaikat yang mengiringi Jibril membawa ayat agung pada Rasulullah. Yakni, ayat kursi.
Penemaan kursi pada ayat tersebut diambil dari penggalan ayat di dalamnya yang berbunyi wasi’a kursiyyuhu al-samawati wa al-ard. Atas dasar inilah, istilah kata kursi diduga kuat berasal dari Alquran.
Berdasarkan ilmu bahasa, keistimewaan kata kursi terletak pada konotasi dan denotasinya. Kursi secara denotasi berarti sarana duduk yang lebih menekankan pada fungsi juga disebut artefak. Adapun secara konotatif, kursi berkaitan dengan arti kiasan yang mengekspresikan makna simbolik. Yakni, kedudukan atau jabatan seseorang.
Dalam konteks sebagai tempat duduk, kursi memiliki citra yang sangat unik, penuh misteri dan berkaitan dengan hirarki sosial. Tradisi duduk dalam kehidupan masyarakat di wilayah Asia cenderung dilakukan di bawah atau lantai. Sebab kecenderungan yang ada menunjukkan bahwa duduk di atas atau di kursi hanya dilakukan oleh raja dan bangsawan.
Kehidupan sosial menunjukkan kursi kerap dipandang sebagai atribut yang dapat digunakan untuk menampilkan status sosial, prestise, dan gengsi para pemiliknya. Celakanya, melalui kursi seseorang dapat bertindak di luar nalar karena apabila dilihat dari kerangka the politics of chairs, kursi memiliki manifestasi ideologi untuk menguasai.
Padahal, jalan mencapai, mempraktikkan, dan mempertahankan kekuasaan di Indonesia sudah diatur dalam konsitusi. Maksud dari konstitusi di sini adalah segala ketentuan dan aturan tentang ketatanegaraan meliputi UUD dan sejenisnya.
Artinya, setiap individu maupun kelompok yang tengah berupaya mencapai, mempraktikkan, dan mempertahankan kekuasaan tidak boleh keluar dari garis-garis amanah konstitusi.
Mengemukanya Wacana tiga periode jabatan presiden adalah bukti nyata bahwa pentas politik kita saat ini telah sengaja menarik-narik untuk keluar dari jalur konstitusi. Wacana tiga periode jabatan presiden merupakan salah satu bukti nyata bahwa para politisi tanah air kita saat ini banyak yang lupa pada ayat dan hanya kursi yang terus diingat.
Bukankah undang-undang adalah ayat konstitusi yang harus ditaati oleh seluruh warga Negara Republik Indonesia? Apalagi, amandemen Pasal 7 UUD 1945 yang dilakukan pada Sidang Umum MPR tertanggal 14-21 ktober 1999 menegaskan bahwa jabatan presiden dan wakil presiden hanya dipegang selama dua periode berturut-turut oleh seorang presiden yang sama.
Lalu, kebijaksanaan apa yang bisa diharapakan dari suatu kekuasaan apabila ayat-ayat konstitusi yang seharusnya dijunjung tinggi justru diterobos demi kepentingan menambah masa jabatan semata?
Memang betul bahwa ada satu hal yang bisa mengalahkan konstitusi. Yakni, kehendak rakyat. Tetapi, merujuk pada hasil survei LSI yang dilakukan pada Maret 2022 terkait perpanjangan masa jabatan presiden, sebanyak 70,7 responden yang tersebar di 34 Provinsi di Indonesia menyatakan bahwa Presiden Joko Widodo harus menanggalkan jabatannya pada 2024.
Apabila rezim saat ini masih ngotot untuk memuluskan wacana tiga periode jabatan presiden, itu berarti bukan hanya melabrak konstitusi tetapi sekaligus telah mengenyampingkan kehendak rakyat. Ada bijaknya kita merenungi pesan BJ. Habibie saat diwawancarai oleh Majalah Forum Keadilan pada 7 September 1998 yang menyatakan bahwa, “Kalau pada Desember 1999 rakyat menghendaki saya maju lagi berarti itu adalah periode kedua sekaligus trakhir bagi saya dengan kepastian masa jabatan presiden.”
Alhasil, dalam rangka memperbaiki politik mari menyelami ayat kursi untuk menanamkan bahwa kekuasaan tanpa batas itu hanyalah milik Tuhan Yang Maha Esa. Sekali lagi, jangan sampai hanya saat di bawah rajin membaca ayat kursi tapi setelah menjabat lupa ayat tinggal kursi yang terus diingat.(*)
*Abd Munib, Penulis Buku, Daya Tipu Tampilan Luar.