1] Bukan Banjir Pertama, dan Mungkin Juga Bukan yang Terakhir.
Kota Pamekasan kembali dilanda banjir. Pada Selasa, 1 Maret 2022. Berdasarkan catatan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Pamekasan, banjir mulai masuk pemukiman warga sekitar pukul 10.00 WIB.
Di wilayah kota ini, banjir baru surut keesokan harinya, Rabu, 2 Maret 2022. Sekitar pukul 12.00 WIB, rumah warga yang semula tergenang hingga dada di Kelurahan Parteker, Jungcangcang dan Patemon mulai tampak lantai dasarnya. Lebih dari 24 jam terendam.
Tidak hanya di wilayah kota, di kecamatan timur kota, yakni Pademawu, juga terdampak. Lima desa dan satu kelurahan terdampak di dalamnya. Salah satu yang cukup parah yakni di Desa Sumedangan, jalur bus Pamekasan-Sumenep.
Hingga Rabu (2/3/2022) sore, sekitar pukul 17.00 WIB, banjir masih setinggi lutut di lokasi yang disebut terakhir ini. Warga banyak mengungsi ke rumah warga lain yang aman dan berlantai dua. Warga sekitar menyebut, ini banjir terparah selama 45 tahun terakhir.
2] Bagaimana Warga Bersikap dan Berpikir?
Dalam situasi banjir yang memilukan itu–warga butuh evakuasi, sepeda motor naik ke meja, kamar tidur tergenang, alat-alat rumah terendam dan aktivitas lumpuh; warga butuh bantuan makanan; sejumlah kantor desa dan sekolahan terendam–saya sempat membuka handphone dan membuka WhatsApp Grup (WAG).
Saya menemukan setidaknya tiga video. Pertama, video Bupati Pamekasan tahun sebelumnya–yang menyebut genangan air yang menimpa kota bukanlah banjir, tapi luapan air sungai–viral kembali.
Kedua, video berisi tentang permintaan warga agar bupati segera bertindak. Ketiga, video yang berisi sindiran-sindiran kepada Bupati Pamekasan Baddrut Tamam.
Dari video-video yang beredar ini, warga tampaknya menemukan sendiri formulasi cara berpikirnya; bahwa banjir ini ada hubungannya dengan Bupati Pamekasan; sebagai orang nomor satu; pemegang kebijakan tertinggi.
3] Apa Hubungannya?
a) Hubungan Bupati Pamekasan dengan banjir bukan hubungan sebab-akibat.
Saya ingin memberikan satu sudut pandang, bahwa komoditas utama banjir adalah air hujan.
Lalu, secara sederhana, kita tentu berpikir dan bersepakat, bupati bukan orang yang bisa menurunkan atau mencegah hujan turun berjam-jam. Bupati, bukan hujan itu sendiri. Bupati, dan hujan adalah dua hal berbeda. Hujan, adalah hukum alam. Hukum alam satu ini tidak bisa direkayasa manusia sekelas bupati sekalipun. Bupati tidak bisa menguasai hukum hujan turun dan tidak.
Jadi bupati, tidak bisa menakar berapa titik hujan yang boleh turun ke bumi dan berapa jam hujan boleh turun. Bupati tidak punya kekuasaan untuk itu. Bupati tidak ada hubungannya dengan hujan. Pun, kita sama-sama tidak ada hubungannya dengan hujan itu sendiri.
Kita pun bisa mengambil kesimpulan, karena komoditas utama banjir adalah hujan, bahan utama dari banjir adalah hujan, maka hujan menjadi urusan hukum alam. Bukan urusan siapa pun. Justru adalah kesalahan berpikir, bila menyebut hujan itu bisa dikendalikan oleh siapa pun.
Jadi bupati, bukan sebab dari banjir dari sudut pandang ini. Sebab hujan bisa saja turun 10 hari 10 malam, dan apakah ada daerah yang akan bebas banjir dari situasi ini?
b) Hubungan Tanggungjawab dan Kebijakan.
Komoditas banjir ini turun dari langit dan tumpah ke bumi. Ia bertemu dengan kondisi alam. Hujan turun menimpa lahan; hutan, perumahan, sungai dan seterusnya.
Bumi adalah wadah air hujan. Wadah yang di dalamnya berlaku hukum alam. Jika hujan turun ke hutan, air akan terserap akar-akar pohon. Jika turun ke sungai, ia akan mengalir ke dataran rendah. Jika bertemu perumahan, dia akan tergenang dan terus menggenangi bila tidak ada drainase di sekitarnya.
Bila berdasar pada kajian BPBD Pamekasan, pemicu banjir di Pamekasan setidaknya ada tiga;
1] intensitas dan durasi hujan yang cukup tinggi dan lama di wilayah hulu dan hilir daerah aliran sungai. Ini hukum alam yang tidak bisa dibantah.
2] gundulnya lahan di hulu sungai akibat galian tambang pasir batu ilegal sehingga hujan turun tidak terserap pepohonan. Tambang ilegal ini diperkirakan sudah operasi lebih dari sepuluh tahun lalu. Kian hari titiknya kian meluas.
3] sempit dan dangkalnya badan sungai karena tidak dilakukan pengerukan. Sehingga debit air hujan meluber ke sisi-sisi sungai saat hujan turun lebat dan durasi cukup lama.
Berdasarkan catatan PUPR Pamekasan, titik daerah aliran sungai yang masuk ke kota hampir semuanya adalah wewenang provinsi–pendeknya, provinsi harus bertindak.
Sehingga daerah tidak melakukan kegiatan yang bukan wewenangnya. Selain itu, PUPR menyebut terganjal anggaran untuk mengeruk sungai-sungai kecil milik daerah.
Jadi, hujan yang turun ke Bumi Pamekasan, memang tidak bisa dicegah. Karena memang bukan kuasa siapa pun. Bahkan, bukan kuasa orang nomor satu di Pamekasan saat ini. Tetapi alam Pamekasan, bisa dikendalikan dengan regulasi. Oleh pemerintah yang berwenang.
Pemerintah, bisa mengambil kebijakan. Mencetuskan regulasi. Regulasi yang mengatur tatanan alam Pamekasan; pemeliharaan sungai; penempatan perumahan; pemeliharaan titik serapan air dan pengaturan alih fungsi lahan.
Regulasi itu bisa berupa perda dan sejenisnya. Tetapi konon, kebijakan dalam bentuk regulasi dan perda sudah ada. Sudah ada dokumen penanggulangan banjir sejak beberapa tahun lalu. Sudah ada dokumen kajian risiko banjir 2019-2023.
Sudah ada perda yang mengatur Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 2012-2032 sejak 2012 silam–tetapi sayang Perda Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) belum ada; perda yang mengatur lebih detail urusan tata ruang Pamekasan.
4] Lalu, Bagaimana Sebaiknya Kita Berpikir?
Regulasi demi regulasi tentu sudah ada. Pemerintah tentu bukan orang yang terbelakang. Kantor DPRD kita mayoritas diduduki orang-orang hebat yang dulu bernalar kritis. Pun kursi eksekutif kita di daerah ini bukan diduduki orang-orang berpendidikan rendah. Tentu, urusan mudah sekadar mengurusi banjir tahunan Pamekasan.
Pemerintah, pasti lebih pintar dari masyarakat biasa. Pasti, sungguh pasti. Dan tentu juga lebih bijaksana. Solusi dan apa pun itu yang baik pasti sudah dirancang dan dipikirkan. Termasuk urusan banjir di Pamekasan tahun ini yang menimpa 13.871 jiwa di Kecamatan Kota Pamekasan dan Kecamatan Pademawu.
Barangkali, pemangku menemukan kendala, dan kendala, dan kendala, yang tidak bisa dijelaskan kepada khalayak ramai. Kendala-kendala itu normal dialami. Karena pemerintah juga manusia. Yang punya masalahnya sendiri. Punya hambatannya sendiri. Yang pasti, tidak ada pemerintah diam melihat belasan ribu rakyatnya terdampak banjir.
Pemerintah sudah memikirkan semuanya. Semuanya. Sungguh semuanya. Sebaiknya, kita hanya diam, terus berdiam, dan terdiam, sambil berharap; banjir yang datang lagi di tahun dan musim ini tidak datang lagi di musim dan tahun berbeda di masa mendatang.
Kita berharap, hujan tidak turun deras sekali dan lama sekali dalam waktu dekat ke depan. Sebab, sungai-sungai masih dangkal dan menyempit belum dikeruk. Lahan-lahan yang dulu adalah rawa sudah jadi perumahan dan akan banyak lagi perumahan. Tambang pasir batu pun kian meluas di Kecamatan Proppo dan Palengaan.
Saya pribadi, hanya berharap satu, pemerintah mengubah redaksi plang yang dipasang di dekat sungai-sungai. Kata-kata di plang yang berbunyi “Kebersihan Mengurangi Risiko Banjir” diganti ke “Pengerukan Sungai Mengurangi Risiko Banjir”.
Karena redaksi yang terakhir, hemat saya, lebih masuk akal dan mudah dipahami maksudnya (*)
*penulis bernama lengkap Ongky Arista UA, warga Desa Somalang, Kecamatan Pakong. Saat ini bekerja di salah satu perusahaan media cetak di Madura.