Perjalanan Bazar Baju Layak FWP
Rabu (18/5) beberapa hari lalu, Forum Wartawan Pamekasan (FWP) kembali membuka Bazar Baju Layak Pakai. Di sekretariat Gedung Studi Pers dan Hoaks Jalan Ronggosukowati No.14 Kota Pamekasan.
Baju layak pakai ini maksudnya adalah baju bekas yang masih layak dipakai–soal standar kelayakan ini kita bahas kemudian. Baju-baju ini donasi dari teman-teman pejabat Kemenag, Kejari, BPBD, FRPB Pamekasan dan beberapa donatur perorangan. Dari dalam dan luar Pamekasan.
Baju-baju ini purna terkumpul pada 25 April 2022. Kurang lebih 2.000-an keping baju yang terkumpul waktu itu. Keesokan harinya, stand bazar ini pun dibuka. Ratusan baju ludes pada hari pertama. Pun hari kedua dan ketiga. Menjelang Hari Raya Idul Fitri, yakni per 29 April, Bazar Baju ini ditutup.
Baju-baju layak ini masih bertumpuk di sekretariat FWP. Bersisa sekitar 1.000 sampai dengan 1.500 keping. Hingga 20 hari kemudian. Per 17 Mei, pengurus FWP menggelar rapat kecil membahas kondisi baju-baju tersebut. Apakah akan diangkut ke TPA Angsanah atau masih akan dibuka kembali bazar baju ini. FWP memilih yang terakhir. Membuka lagi bazar pada 18 Mei 2022.
Sudut Pandang Layak
Pakaian yang FWP terima 90 persen masih layak. Layak dalam arti sederhana. Tidak bolong, sobek dan sejenisnya. Celana, kaos, sarung, kerudung, rok, kebaya, baju tidur, baju anak dan pakaian lain masih dalam kondisi layak. Dalam arti bisa dibazarkan ke masyarakat–terkhusus yang kurang mampu–secara gratis.
Tetapi bagaimana mengukur standar kelayakan itu? Saya ikut menjaga stand bazar ini. Saya menemukan baju-baju masih bagus. Bagus dalam arti tidak rusak. Bahkan tergolong sangat bagus bagi saya. Beberapa saya juga menemukan pakaian yang sedikit lusuh namun masih bagus dipakai di badan.
Namun mengapa donatur menyerahkan baju-bajunya yang masih tergolong layak ke FWP untuk disalurkan gratis? Pertanyaan ini saya ajukan untuk masuk pada maksud layak pada “Bazar Baju Layak Pakai FWP Pamekasan”.
Pertama, pakaian itu barangkali tidak terpakai karena kebesaran atau sebaliknya. Kedua, terlalu banyak baju yang menumpuk sehingga merasa perlu disedekahkan. Ketiga, mungkin pakaian-pakaian itu memang dianggap tidak layak dalam standar donatur. Donatur barangkali punya baju yang lebih bagus dan baru ketimbang yang sudah didonasikan.
Namun apa pun standarnya, satu fakta yang tidak bisa dibantah adalah, baju-baju yang donatur berikan ludes pada 18 Mei 2022. Ludes dalam arti, tak ada lagi stok baju pada 19 Mei 2022 keesokan harinya. Hanya bersisa sekitar tujuh persen dari total baju yang masuk ke FWP. Sisanya ini baju balita.
Itu jelas artinya, bahwa baju yang bagi kita tidak terpakai dan bahkan mungkin kita anggap “tidak layak” ternyata layak bagi orang lain.
Yang tak kita pakai dan kita anggap tidak bagus lagi itu ternyata justru berharga bagi orang lain. Baju yang tidak sesuai standar bagi kita ternyata adalah standar layak dan bagus bagi orang lain. Dari sinilah, standar kelayakan tidak bisa didefinisikan. Memaksa mendefinisikannya akan menjebak kita pada perspektif kelas dan hirarki sosial.
Pejabat yang kaya memiliki standar kelayakan atas baju-bajunya. Seorang aktivis bencana pun punya standar kelayakan sendiri. Kita sendiri, pastinya, juga punya standar kelayakan. Standar kelayakan ini berbeda-beda. Karena berbeda inilah akhirnya, “kelayakan” tidak bisa didefinisikan maksudnya.
Ibu Seorang Pedagang Keliling
Teman-teman pengurus FWP sudah berencana membawa baju-baju yang tersisa hampir dua ribu keping itu–pasca lebaran–ke tempat pembuangan sampah di TPA Angsanah. Rencana ini dilatarbelakangi anggapan bahwa baju yang masih tersisa itu tidak layak dan kita berpikir tidak mungkin lagi ada yang mau mengambilnya.
Kita sudah berkomunikasi dengan DLH Pamekasan untuk pengangkutan baju-bajunya. Namun, salah seorang dari pengurus mengusulkan agar dibuka lagi bazar baju ini. “Bagi kita mungkin sudah tidak layak, kita tidak tahu bagi orang lain yang kemampuan ekonominya di bawah kita,” kira-kira demikian pendapatnya.
Akhirnya bazar dibuka kembali. Per 18 Mei 2022. Pengurus berinisiatif jemput bola. Beberapa pengayuh becak di depan kantor diajak turun ke stand. Beberapa pedagang dan buruh toko juga diajak masuk. Mereka pun masuk dan memilih.
Yang tiada kita nyana, dalam hitungan menit stand bazar ramai dan baju yang semula kita tuduh tidak layak itu raib dibawa pulang oleh mereka.
Di sini, kita merasa sangat berdosa, dan merasa sangat bersalah. Karena semula menganggap bahwa baju-baju yang ada di sekretariat adalah tidak layak. Sementara, banyak orang yang justru senang mengambilnya. Membawanya pulang. Karena mereka menganggap itu berguna.
Rasa salah dan dosa itu rasanya kian bertambah saat seorang ibu pedagang keliling masuk ke stand bazar. Namanya Samsiyah. Warga Desa Toronan, Kecamatan Larangan. Usianya sekitar 50 tahun. Dia masuk dan memilih baju-baju.
Setelah memilih, ibu ini mengambil dua bungkus kerupuk dari dalam bak dagangnya. Lalu memberikannya kepada saya dan wartawan RRI yang berjaga di situ. Tidak hanya kerupuk, dia juga mengambil nasi bungkus yang dijualnya. Lalu diberikan ke kami.
Namun, nasi bungkus itu kami tolak. Penolakan itu karena kita tahu, secara kasat mata dia lebih susah kondisi ekonominya daripada kita. Saya pun bertanya berapa harga nasinya. Dia menjawab Rp 7 ribu. Saya beri dia uang Rp 10 ribu untuk membelinya satu bungkus sebab teman saya sudah makan. Dia tidak mau. Justru mengambil lipatan uang Rp 5 ribu yang ada di tangan saya. Saya paksa dia menerima uang saya. Ibu ini terus menolak. “Ini sudah cukup, kaule sakalangkong kalambina,” katanya.
Kita pun minta ibu itu memilih baju lagi. Lebih banyak dari yang sudah dia bungkus. Saat itu pula kita belajar. Belajar pada dosa dan salah yang ada dalam pikiran kita. Belajar pada–dan dari–kondisi ibu pedagang ini.
Saya pun teringat nasihat Jean Marais kepada Minke dalam Novel Bumi Manusia, “Kita harus adil sejak dalam pikiran.” Adil dalam pikiran; tidak berprasangka apa kepada siapa pun; tidak menuduh apa kepada apa dan siapa pun.
Dari perjalanan Bazar Baju Layak Pakai FWP ini, satu yang mesti benar-benar dihapami. Bahwa para donatur telah membahagiakan mereka yang membutuhkan baju-baju. Sementara FWP, belajar berpikir dan merenungi serangkaian jalannya bazar ini.(*)
*penulis adalah Ongky Arista UA. Ketua Forum Wartawan Pamekasan. Penulis novel “Teror Moral”. Pernah bekerja di Harian Jawa Pos Radar Madura.