Menu

Mode Gelap
Dewasalah Saudara Tua, AC. Milan Tesla Dahlan Iskan dan “Ejekan” untuk Giliraja

Sudut Pandang · 1 Sep 2022 09:58 WIB ·

Genealogi Nalar Egois


 Genealogi Nalar Egois Perbesar

Sebuah Antitesa

Saya sering mendengar seseorang berkata kepada seseorang yang lain; “Anda egois!”

Perkataan itu, dikeluarkan oleh seseorang kepada seseorang yang hanya mementingkan dirinya sendiri. Tetapi apakah benar, maksud dari egois itu sama dengan mementingkan diri sendiri?

Kalau kita menengok KBBI, artinya ternyata benar. Bahwa, egois itu adalah sebuah istilah untuk menyebut orang yang mementingkan dirinya sendiri.

Tetapi persoalannya, bukankah, setiap orang hidup itu termotivasi dari kepentingan diri sendiri dan masing-masing?

Dan bukankah pula, hidup itu memang selalu terdorong untuk mememihak kepada kepentingan dirinya sendiri? Bukankah, itu alamiah?

Realitas Ego

Sigmund Freud menyebut bahwa ego, dipengaruhi oleh satu hal yang disebut prinsip realitas (reality princple). Calvin S. Hall menerjemahkan reality principle yang dimaksud Freud sebagai apa yang ada.

Apa yang ada adalah apa yang melingkupi hidup kita. Saya mengerucutkannya menjadi tiga hal. Pertama, pergaulan. Kedua, pola pikir dan ketiga, kebutuhan.

Sementara ego ini, kata Calvin, bisa berwujud melalui dua proses. Pertama, keinginan. Kedua, usaha atau aktualisasi.

Ego yang sudah melalui dua proses ini saya sebut sebagai kehendak. Bahwa, ego pada fasenya yang lebih lanjut adalah sebuah kehendak.

Lebih jauh itu berarti bahwa, setiap manusia, dilahirkan dengan kehendaknya; dengan egonya. Setiap ego lahir dengan identitas khusus yang unik. Setiap orang memiliki corak egonya sendiri.

Seiring taraf umurnya kemudian, ego ini dibentuk oleh tiga hal yang saya sebut di atas; pergaulan, pola pikir dan kebutuhan.

Tiga hal inilah yang kemudian saya pikir menyeret ego ke taraf yang tragis; egoisme!

Genealogi Egoisme

Kita sering mendengar teori sosiologi klasik yang menyebut bahwa, dalam setiap interaksi sosial ada perebutan dominasi. Kemenangan di medan perebutan dominasi ini akan membawa seseorang menemukan kehendak terbebasnya.

Tetapi dari mana perebutan dominasi ini muncul? Nietzsche menyinggung, bahwa perebutan dominasi ini muncul dari pandangan setiap orang terhadap hidup dan dunianya.

Dia menyebut bahwa, tujuan hidup adalah menyadari kenyataan bahwa hakikat hidup adalah kehendak untuk berkuasa. Aktualisasi kehendak berkuasa ini adalah perang atau sebuah perebutan.

Bertolak dari perang dan perebutan ini, hakikat kehendak berkuasa atau ego berkuasa ternyata adalah alamiah. Manusia memang dilahirkan dengan sepetak kekuasaannya; sebuah kekuasaan alamiah yang prerogatif.

Hak kuasa untuk hidup dan bertahan hidup yang tidak bisa diganggu oleh siapa pun. Kita boleh makan dari hasil kerja kita. Itu hak kuasa yang setiap orang memilikinya.

Tetapi dalam taraf yang lebih jauh, kehendak berkuasa atau kuasa ini berkembang ke arah yang rusak–seiring pergaulan, keinginan dan kebutuhan.

Seseorang yang semula hanya butuh makan untuk bertahan hidup, meningkat butuh baju, kendaraan, rumah, alat-alat, kedudukan dan seterusnya. Bahkan, butuh jabatan dan penghormatan.

Kebutuhan dasar untuk hidup seolah-olah sudah tidak terpenuhi. Manusia ingin memiliki sesuatu yang lebih dari sekadar sepiring nasi dan gubuk. Maka muncul perebutan dominasi dan perang ego atau perang kehendak untuk menggapainya.

Saat itulah, naluri ego akan terjebak ke dalam kerangka nalar egois. Orang-orang saling bersaing hanya untuk sebuah menu makanan dirinya sendiri. Orang-orang saling sikut hanya untuk sebuah setelan baju dirinya sendiri.

Persaingan ini alamiah sepanjang ia tidak menimbulkan kerusakan. Bila ia sampai menimbulkan kerusakan; saling fitnah, pembunuhan dan sejenisnya, maka kehendak atau ego ini bisa disebut sudah keluar dari naturalitasnya.

Kehendak yang keluar dari naturalitasnya; perebutan dominasi yang keluar dari kadar alamiahnya, menandai munculnya monopoli kekuasaan.

Kita bisa menyebutnya, ada kekuasaaan kolosal yang dikendalikan oleh satu orang atau, sudah terjadi ketimpangan kuasa.

Beberapa orang tidak lagi bisa makan sepiring nasi. Mereka jatuh miskin. Padahal, mereka memiliki hak yang sama dan semestinya mereka bisa bekerja dan bisa makan.

Namun mereka jatuh dan menjadi tidak punya kuasa. Kekuasaan yang dibawanya sejak lahir dirampas oleh kekuasaan besar. Ada pembagian kuasa yang timpang.

Di satu sisi ada satu orang yang sangat berkuasa. Di satu sisi yang lain ada orang yang begitu lemah dan kehilangan kekuasaannya.

Di satu sisi ada orang yang begitu kayanya. Di satu sisi, ada orang yang begitu miskinnya. Itulah ketimpangan. Ketimpangan yang lahir dari perebutan dominasi yang tidak lagi alamiah dan tidak adil.

Rusaklah ego dan kehendak berkuasa di sini. Beberapa orang akhirnya berubah menjadi egois karena kehilangan sepetak kekuasaannya sendiri.

Distribusi kekuasaan yang adil (fair) tidak akan memicu perebutan kekuasaan dan dominasi yang berlebihan. Kekuasaan yang tidak fair inilah atau ketimpangan inilah yang sebenarnya menyeret kita masuk ke dalam nalar egoisme; lebih mementingkan diri sendiri.

Pada akhirnya, kita tidak bisa berharap kepada apa pun dan kepada siapa pun. Segala sesuatu telah serba timpang. Egois akhirnya menjadi pilihan satu-satunya meskipun tidak dan sangat tidak bijaksana.(*)

*penulis adalah Ongky Arista UA, Pemimpin Redaksi Kabarmadura.id

Artikel ini telah dibaca 93 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Sebuah Hipotesa tentang Asal Muasal Kerusakan Sesuatu

18 Oktober 2022 - 19:01 WIB

Ongky Arista UA

Meneroka Konsep Komunikasi Positif Bupati Baddrut Tamam

14 September 2022 - 21:53 WIB

Ongky

Religiusitas di Balik Pojhur

3 September 2022 - 23:11 WIB

UKW sebagai Narasi Kritik Kerja Jurnalistik “Saya”

27 Agustus 2022 - 21:18 WIB

Kritik

Penjaga Toko, Dosen, dan Kendali di Tangan Anda

28 Mei 2022 - 16:45 WIB

Dewasalah Saudara Tua, AC. Milan

25 Mei 2022 - 16:02 WIB

Marco Materazzi dan Rui Costa pada derby Milan di perempat final Liga Champions 2004-2005. (c) squawka
Trending di Sudut Pandang