Imaji Jalan Kabupaten
Saya mengimajinasikan, Jalan Kabupaten–termasuk jalan menuju kantor bupati di mana pun itu–Kota Pamekasan adalah jalan yang tertib. Tertib dalam segala hal. Karena poros ini adalah jalan utama menuju kantor bupati, DPRD dan kantor-kantor lain. Jadi situasinya, seharusnya, aman dari hal-hal yang berbau liar dan mengganggu ketertiban umum.
Saya juga membayangkan, arus lalu lintasnya sopan dan santuy. Sebab, yang tentu sering keluar dan masuk adalah kendaraan dinas, yang mengantarkan pejabat dan tamu pejabat. Keluar masuk kendaraan ini tentu dikawal, baik oleh petugas keamanan atau penjaga yang berwenang di sekitar kantor.
Mobil pejabat pun tentu ramah. Tidak mungkin ada kendaraan pelat merah memakai kenalpot brong. Tidak mungkin dan sungguh tidak mungkin. Sehingga bunyi-bunyi kendaraan pun nyaris tidak terdengar telinga. Senyap dan seperti tidak ada apa-apa. Sopan dan terkesan santuy, lemah dan lembut.
Dan, imaji saya ini tidak jauh salah. Tetapi ada realitas lain di sisi yang tidak jauh salah ini.
Balap Liar
Bila malam sudah tiba, saya dan teman-teman yang kebetulan menginap di kantor, di Jalan Kabupaten No. 106, sudah harus bersiap-siap. Kadang bersiap-siap harus bersabar; menata kekesalan dan emosi. Kadang bersiap-siap harus menyumbat telinga. Ada balap liar!
Ya, ada balap liar yang mencipta kebisingan di Jalan Kabupaten ini. Mulai dari titik lampu merah Jalan Pintu Gerbang ke arah barat Jalan Kabupaten sampai di depan kantor KUA Kota Pamekasan.
Namanya balap liar, situasinya pun liar; serba tidak menentu. Kadang malam Jumat, kadang malam Minggu, dan kadang malam-malam lain yang tidak saya tahu jadwalnya.
Kadang sudah ada satu dua peserta yang mulai atraksi sejak sore hari. Kadang malam di atas jam sembilan dan kadang dini hari. Kadang pesertanya sedikit dan kadang banyak. Kadang roda empat, dan kadang dan sering roda dua. Tidak menentu dan serba liar. Tidak bisa ditebak dan direka-reka.
Hanya satu yang tidak liar, bisa ditebak, dan direka-reka; balap liar ini berkelanjutan. Seperti menemukan napasnya menjadi aktivitas yang sustainable; bertahan dan terus ada–dan hampir semua kendaraan yang terlibat di dalamnya memakai kenalpot brong yang mengusik kekhusyukan istirahat.
Ini sejauh yang saya saksikan sejak 2019 hingga 2022 ini. Entah, pengalaman orang yang lebih lama tinggal di Jalan Kabupaten ini.
Sustainability balap liar ini memancing setidaknya satu pertanyaan dalam pikiran saya; mengapa balap liar ini bisa menemui titik sustainability-nya? Bukankah, pasal 115 Undang-Undang No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sudah tegas mengatur?
Bahwa, pengemudi dilarang mengemudi melebihi batas kecepatan yang diperbolehkan (ayat 1). Apalagi jelas, ada indikasi “kompetisi” di lokasi; perlombaan adu cepat dua kendaraan (ayat 2) di jalan umum yang bukan sirkuit.
Larangan yang tertuang dalam undang-undang ini, tentu jelas menegaskan, balap liar melanggar undang-undang tersebut. Lalu mengapa, pelanggaran ini bisa berkelanjutan
Jarang Ditemui Ada Penjagaan Petugas
Pelanggaran yang berkelanjutan, di tempat atau lokasi yang sama, mengindikasikan satu hal; absennya aparat penegak hukum untuk menindak pelanggaran ini secara berkelanjutan pula. Beberapa kali, saya melihat patroli polisi. Ngepam di depan pendapa.
Tetapi nampaknya, patroli ini tidak lebih berkelanjutan dari balap liar kebisingan ini. Sebab, faktanya, lebih berkelanjutan balap liarnya dari penjagaan polisi itu sendiri. Karena tidak mungkin, ada balapan liar bila di sisi lain di Jalan Kabupaten ada petugas.
Sebagai wartawan, saya tentu punya akses untuk menelepon Kasatlantas Polres Pamekasan untuk keperluan wawancara dan menulis berita soal ini.
Setidaknya ada tiga hal yang saya ingat dalam hasil wawancara itu. Pertama, pihak berwenang mengatakan akan berpatroli rutin dan lebih rutin lagi. Kedua, akan ada pengalihan arus di Jalan Kabupaten pada malam-malam tertentu dan ini akan dikoordinasikan dengan Dinas Perhubungan.
Ketiga, petugas kadang dalam situasi bermain “kucing-kucingan” dengan peserta balap liar; saat ada petugas, balap liar tiada, dan saat petugas bergeser, balap liar kembali ada.
Nomor satu dan dua lebih bisa diterima akal, daripada nomor tiga. Sebab, ibarat kata, ini bukan kucing versus kucing. Tapi singa versus kucing. Polisi ibarat singa, peserta balap liar ibarat kucing. Tetapi mengapa, kucing ini, lebih bisa bertahan di posisi melanggar Undang-Undang No 22 Tahun 2019?
Di titik ini, saya kerap bertanya-tanya dan tidak menemukan jawaban. Sebab, siapa yang salah dan siapa yang benar seolah-olah menjadi campur-aduk. Balap liar jelas menyalahi aturan tetapi mengapa masih berkelanjutan, dan polisi jelas benar mengapa tidak bertindak berkelanjutan?
Apakah ini cermin sederhana, yang menggambarkan, bahwa pelanggaran yang terorganisir akan mengalahkan penegakan hukum yang tidak lebih terorganisir? Saya tidak tahu, saya tidak bisa menghakimi, karena saya bukan hakim. Tetapi, saya berhak bertanya dan terus bertanya.
Harmoni Wilayah Abu-Abu
Saya tidak mau menjustifikasi balap liar ini salah. Karena tanpa justifikasi saya pun, undang-undang jelas lebih awal sudah menyalahkannya. Tetapi satu yang juga tidak kalah ‘ganjil’; pelanggaran ini, balap liar ini, bukan hanya bersandingan, tetapi terjadi di Jalan Kabupaten.
Mau tidak mau, saya melihat dua wajah pada Jalan Kabupaten ini. Wajah dinas pejabat di satu sisi dan wajah balap liar dan kenakalan remaja di sisi lain. Mengapa keduanya, bisa bersatu dalam satu lokus Jalan Kabupaten?
Apakah ini yang disebut harmoni hitam dan putih? Yang kemudian harmoni ini membentuk grey area? Apakah kantor Pemda, DPRD, Satpol PP, Kemenag dan KUA adalah wilayah abu-abu? Saya tidak tahu!
Yang Nakal, tentu Tidak Mau Paham
Balap liar ini, saya pikir, adalah manifes dari kenakalan remaja.
Beberapa waktu lalu, saya berbincang dengan salah satu teman nakal yang sudah insyaf. Bahwa, di wilayah Pamekasan dan Madura umumnya, komponen kenakalan remaja yang absolut tertuang setidaknya dalam tiga hal; balap liar, ke klub malam dan memakai narkoba.
Balap liar dan narkoba, bila mengacu pada keterangan teman saya itu, bisa saja satu hal. Meski tentu, bisa saja juga lain hal. Peserta balap liar bisa saja tidak memakai, tetapi juga bisa memakai narkoba. Keterangan semacam ini, saya rasa, tentu petugas lebih tahu dan lebih bisa mendalami–kalau mau.
Orang nakal ini, bukan tidak paham, bahwa apa yang dilakukannya adalah salah. Tetapi mereka tidak mau memahami. Mereka memilih mengabaikan nuraninya. Mendidik nuraninya untuk tidak mendengar kebenaran. Mendidik nuraninya cuek pada apa yang benar. Mengorganisir nuraninya untuk menutup pemahaman tentang apa yang benar.
Pada 17 April 2021 lalu, Polres Pamekasan mengamankan 120 barang bukti balap liar berupa kendaraan roda dua. Tetapi, bukan lantas di antara mereka jera. Di antara mereka ada yang sadar, dan mungkin juga ada yang menolak untuk sadar. Balap liar pun tetap ada, hingga saat ini.
Kenakalan ini, hemat saya, adalah terorganisirnya sikap dan karakter seseorang untuk menolak apa yang benar. Karena ia terorganisir, maka untuk menyelesaikannya pun memerlukan metode yang lebih terorganisir.
Razia balap liar sebulan sekali, rasanya tidak cukup. Patroli seminggu sekali, rasanya tidak cukup. Karena yang menjadi lawan dari penegakan peraturan ini adalah kenakalan.
Orang-orang yang nakal ini, dalam konteks balap liar, setidaknya menolak untuk paham dua hal. Ibarat orang melanggar lampu merah, mereka tidak sadah, bahwa salahnya bukan sekadar melanggar aturan, tetapi juga mengambil hak pengendara lain yang memiliki waktu lampu hijau untuk melintas.
Pertama, mereka menolak untuk memahami, bahwa balap liar di jalan raya yang bukan sirkuit ini, telah merenggut ketenangan pengendara lain. Mereka tidak paham, bahwa mereka berbuat dua kesalahan sekaligus. Yakni melanggar aturan, juga merenggut rasa aman, nyaman dan ketertiban pengendara lain.
Kedua, mereka menolak untuk memahami, bahwa kenalpot brong itu merenggut kekhusyukan warga menikmati waktu beristirahat. Mereka menolak untuk memahami bahwa, ada warga yang terganggu, ada yang warga yang sedang butuh ketenangan dan ada warga yang juga ingin menghakimi namun ditahan-tahan.
Kenakalan ini, memang cenderung bertolak belakang dengan kemaslahatan masyarakat. Sebab itu, kenakalan ini cenderung ditolak di tengah-tengah masyarakat. Sebab, orang nakal bukan tidak paham, tetapi menolak untuk paham pada apa yang benar.
Saya kira, penegakan hukum yang temporal saja tidak cukup. Lebih tidak cukup lagi, kalau tidak ada penegakan hukum sama sekali. Edukasi temporal juga tidak cukup. Lebih tidak cukup lagi kalau tidak ada edukasi sama sekali.
Apa dan bagaimana solusinya, pejabat atau aparat berwenang saya kira lebih tahu. Sebab, mereka yang lebih mumpuni dari sisi intelektual dan sisi wewenang.(*)
*penulis adalah Ongky Arista UA, penulis buku novel Teror Moral.