Tepat satu tahun pemerintahan Fauzi – Nyai Eva, publik di Sumenep dikagetkan oleh berita tentang masuknya satu perusahaan yang sudah memperoleh izin untuk melakukan penambangan fosfat di Kecamatan Pasongsongan.
Menurut Kepala Bagian Perekonomian dan SDA Sekretariat Daerah Kabupaten Sumenep, Ach Laili Maulidy, ada 124 penambang yang mengajukan izin ke provinsi–sebelum ditarik ke pusat–dan 23 sudah keluar ijin IWP-nya. Wilayah penambangannya meliputi 214 di Kabupaten Sumenep.
Bahkan, anehnya, Kabag Perekonomian Sumenep menyelenggarakan Bimtek bagi penambang yang akan mengurus perizinannya. Sementara publik tidak memeroleh informasi apa-apa soal (dampak) tambang fosfat itu.
Berita itu sekali lagi mengagetkan. Kekagetan publik, terutama bagi pegiat isu agraria dan lingkungan, dikarenakan isu penambangan fosfat yang tahun kemarin sempat mengemuka, sudah dengan tegas ditolak. Terutama oleh pemangku pesantren yang menamakan diri “Forum Sumenep Hijau”.
Pada Maret 2021 lalu, para kiai pemangku pesantren sempat berkumpul di pesantren Annuqayah daerah Latee dan pondok pesantren Assadad, yang diasuh KH. Thaifur Ali Wafa, di Kecamatan Ambunten. Para pemangku pesantren menolak bukan tanpa alasan yang jelas. Beberapa alasan yang bisa saya sebut;
1) Fosfat berada di kawasan batu karst. Kawasan batu karst berfungsi sebagai tandon air yang menyimpan saat musim hujan. Merusak tandonnya berarti akan mengakibatkan kekeringan dalam jangka panjang.
2) Kawasan batu karst menyimpan banyak situs situs yang dikeramatkan warga. Di samping banyak maqbarah para wali juga terdapat banyak goa serta aneka tumbuhan dan pepohonan (serta hutan) tempat berlindungnya kekayaan flora dan fauna.
3) Masyarakat (juga pemerintah daerah) tidak memiliki kemampuan untuk mengantisipasi daya rusak lingkungan akibat penambangan. Kawasan batu karst, jika mengalami kerusakan, tidak akan bisa tergantikan.
4) Industri ekstraktif seperti penambangan sama sekali tidak menghitung generasi yang akan datang yang juga memiliki hak yang nyaman terhadap lingkungan dan ruang hidupnya.
Ada data sebanyak 28 desa di delapan kecamatan di wilayah Sumenep mengalami kekeringan di musim kemarau. Salah satu kecamatan yang mengalami kekeringan ini adalah Kecamatan Pasongsongan, kecamatan yang pertama kali akan dikeruk secara legal oleh Perusahaan Tambang fosfat.
Bisa kita bayangkan, kita akan mengalami krisis air yang akut jika penambangan benar-benar beroperasi.
Iseng-iseng saya buka Perda RTRW, Perda nomor 12 tahun 2013, untuk mengecek apakah pasongsongan masuk kecamatan yang memiliki potensi fosfat dan karena itu bisa jadi landasan legal formal untuk dikeruk?
Teryata, Kecamatan Pasongsongan tidak masuk. Kalaupun masuk, tetap perda itu tidak bisa serta-merta dijadikan dasar legal formal karena penyusunan dan pembahasan Perda itu banyak masalah, termasuk mengabaikan aspirasi publik.
Lolosnya izin perusahaan dan jebolnya pasongsongan bagi saya merupakan kado pahit dalam satu tahun pemerintahan Achmad Fauzi-Nyai Eva. Terlepas pemkab menggunakan alibi bahwa izin itu kewenangan provinsi (sekarang bahkan ditarik ke pusat) tetap saja pemkab tidak bisa dibenarkan. Karena hingga saat ini, Pemkab Sumenep sikapnya tidak tegas atau abu abu.(*)
*penulis adalah A Dardiri Zubairi, pegiat isu-isu agraria Madura dan penggerak Barisan Ajaga Tana Ajaga Na’ Poto (BATAN) Sumenep.