Menu

Mode Gelap
Dewasalah Saudara Tua, AC. Milan Tesla Dahlan Iskan dan “Ejekan” untuk Giliraja

Sudut Pandang · 13 Mar 2022 19:35 WIB ·

Listrik, Mentalitas dan Ketimpangan


 Ongky Arista UA Perbesar

Ongky Arista UA

Posisi Energi Listrik

Beberapa bulan lalu, saya bertemu Manajer PLN UP3 Pamekasan Miftachul Farqi Faris. Di kantornya di Jalan Jokotole Kota Pamekasan. Pertemuan itu untuk keperluan podcast. Menyoal bagaimana keberlanjutan Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) di pulau Giliraja, Kecamatan Giligenting, Sumenep—podcast bisa ditonton di youtube Podcast Mahasiswa.

Pada penutup perbincangan kita kala itu, Faris mengatakan, “Listrik itu seperti oksigen kita hari ini.” Dia tampak ingin menjelaskan, bahwa listrik posisinya sangat penting bagi kita, seperti oksigen. Benar, listrik memang menjadi tenaga nyala hampir berbagai benda di sekitar kita. Dari yang paling tidak penting hingga yang paling penting.

Saya setuju dengan pernyataan Faris. Sebagian besar kegiatan harian kita hampir mustahil tidak disuplai listrik. Bangun tidur, hendak mandi, kita perlu menyalakan keran termasuk lampu di dalam kamar mandi. Balik dari kamar mandi masuk kamar tidur, kita perlu menyalakan lampu lagi. Keluar kamar untuk masuk ke dapur pun demikian. Batre handphone habis, perlu colokan dan seterusnya.

Hal itu menegaskan, bahwa hampir tidak mungkin rasanya, kita tidak berurusan dengan listrik. Urusan kita dengan listrik akhirnya seolah-olah sama dengan perihal kita dengan sepiring nasi. Kita tidak mungkin tidak makan. Kita tidak mungkin tidak bersentuhan dengan alat-alat yang butuh tenaga listrik. Situasi ini akhirnya membentuk semacam “candu”, semacam ketergantungan. Sebagaimana perut, “candu” dan tergantung pada makanan.

“Candu” ini membentuk kondisi baru hidup kita—yang sama sekali lain dengan kondisi sebelum ada listrik. Kondisi baru ini, memaksa listrik harus selalu ada. Tidak boleh padam. Kalaupun padam, tidak boleh lama.

Sebagaimana orang harus selalu makan. Boleh tidak makan, tetapi jangan terlalu lama hingga sangat lapar. Kondisi ini saya sebut sebagai kondisi inklusif. Kondisi yang tidak boleh tidak, harus termasuk dalam rukun hidup manusia hari ini, kondisi yang pada ujungnya membentuk mentalitas.

Jadi sekali lagi benar, kata Faris, listrik itu seperti oksigen kita hari ini.

Padam Bergilir dan Mentalitas

Pada Sabtu, 26 Februari 2022 lalu, pasokan listrik ke Madura terganggu. Rilis PLN Madura menyebut, alat penghantar 150 kV di titik Suramadu rusak. Beban sebesar 73,35 megawatt hilang. Madura pun harus menikmati kondisi padam bergilir selama sembilan hari atau hingga 6 Maret 2022.

Dalam kondisi listrik sudah menjadi oksigen, pemadaman tentu akan menyesakkan dada–kecuali di gedung pelayanan publik yang jadi prioritas dan tidak masuk daftar pemadaman. Aktivitas tersengal-sengal. Kegiatan tertatih-tatih dan tertunda-tunda. Masyarakat Madura pun merasa sudah mati, meski tidak benar-benar mati. Lampu tiba-tiba padam. Suara-suara sound dan loudspeaker tiba-tiba mati. Deru mesin komputer lenyap seperti ditelan entah apa. Kipas berhenti berputar dan seterusnya.

Dan, di sisi lain, saat listrik menjadi candu, pemadaman bergilir ini pun bukan sekadar ihwal rumah menjadi gelap, handphone tidak dapat jatah charging, kulkas tidak menyala, air tidak mengalir, ikan dalam akuarium mati, suara-suara TOA mati dan tugas kantor tidak selesai. Tetapi, pemadaman berbenturan dengan mental, dengan kesiapan diri menerima kenyataan bahwa oksigen itu sudah padam.

Warga pun banyak mengumpat karena tidak siap oksigen ini padam. Banyak alat rumah tangga yang rusak. Beberapa ada yang menanyakan ganti rugi. Beberapa kebingungan dan penasaran pada penyebabnya. Beberapa ada yang bertanya-tanya kapan akan normal menyala. Beberapa yang lain diam memaksa diri menerima kondisi.

Respon pada pemadaman ini saya nilai murni urusan mental. Urusan sikap merespon situasi. Karena listrik, sudah terlanjur menjadi oksigen, inklusif pada rukun hidup kita hari ini.

Tidak ada yang salah, semua respon itu saya kira sudah benar. Karena kondisi inklusif yang berubah ke eksklusif akan memaksa mental mendorong respon. Umpatan atau permintaan ganti rugi adalah alamiah. Sebab listrik adalah “candu”, adalah oksigen. Masyarakat tidak sanggup kehilangan apa yang dihirup, apa yang seolah menjadi napas, dan apa yang seolah-0lah menjadi obat.

Pada situasi ini, fungsi nalar menjadi penting. Pikiran logis menjadi afdal. Orang harus berpikir. Orang harus melihat fakta. Bahwa pemadaman ini akibat kerusakan. Tidak ada kerusakan disengaja—kecuali ada fakta lain menunjukkan adanya kesengajaan. Tidak ada bencana atau kerusakan diharapkan kecuali dalam situasi perang. Dan ini, bukan situasi perang. Jadi mentalitas tadi, harus diimbangi dengan berpikir logis.

Jika nalar dan mentalitas dalam konteks pemadaman ini berjalan seimbang, maka yang ada hanya satu; berusaha berkompromi dengan kondisi padam. Memadukan pikiran logis dan mentalitas diri dalam konteks pemadaman oksigen kita ini. Jadi, tidak ada masalah dengan pemadaman. Karena memang ada sesuatu yang rusak, dan kerusakan tidak akan tiba-tiba bisa diperbaiki hanya dengan kita mengumpatnya.

Namun tentu, dan satu hal, ada fakta lain. Bahwa listrik tidaklah oksigen bagi semua orang di bumi Madura. Orang pulau Giliraja, misalnya, tidak “candu” pada listrik, dan listrik bukan oksigen, listrik tidak inklusif di sana.

Setiap Hari adalah “Pemadaman”

Sejak saya lahir 28 tahun lalu, pulau Giliraja sudah “padam”. Saya tanya kepada nenek, nenek menjawab, sejak dia lahir, Giliraja juga sudah “padam”. Sampai Maret 2022 ini pun, kondisinya juga sama, “padam”. Setiap hari pun rasanya adalah “pemadaman”.

Ya, tidak ada kabel PLN masuk pulau. Tidak ada tenaga pembangkit listrik yang dikelola pemerintah masuk pulau Giliraja. Sejak beratus-ratus tahun lalu—kalau mau dikata. Di pulau, tenaga pembangkit listrik hanya ada dua. Pertama dengan tenaga matahari. Kedua tenaga mesin diesel kecil. Kedua pembangkit ini tidak semua orang punya.

Kondisi ini, membuat warga Giliraja tidak punya komputer, tidak punya kulkas, tidak punya usaha printing, tidak punya warnet, tidak punya banyak lampu, tidak punya sanyo, tidak punya rice cooker dan tidak punya benda-benda lain yang normalnya butuh tenaga listrik.

Belajar komputer di sekolah pun terpaksa dan mau tidak mau hanya praktek pada gambar dalam buku. Membuat siswa tidak tahu bentuk tombol dan monitor perangkat komputer. Semua serba terbatas. Semua serba kurang. Semua serba tanpa listrik.

Kondisi ini pun membuat posisi jaringan listrik menjadi tidak penting. Tidak menjadi inklusif, tidak menjadi candu, tidak menjadi oksigen dan tidak menjadi apa-apa. Listrik dengan tegangan rendah di pulau ini dipakai seadanya. Untuk charging handphone, menyalakan lampu, telivisi, pengeras suara musala dan masjid. Tidak lebih dari itu.

Listrik, benar-benar bukan oksigen. Listrik benar-benar bukan candu. Listrik benar-benar tidak inklusif. Karena, warga di sana lebih menghusyuki hidup tanpa jaringan listrik yang inklusif. Dan, warga akhirnya terbiasa mengkhusyuki jalanan–yang bila hari telah menjadi malam–suasananya menjadi serba gelap, rumah yang gelap, pasar yang gelap, situasi desa yang gelap dan seterusnya yang juga gelap.

Mentalitas warga di sana pun menjadi kuat tanpa listrik. Karena listrik itu eksklusif. Warga menyadari, bahwa tidak semua orang bisa menikmatinya. Semua orang pun sadar, listrik dan diri mereka bukan satu hal dalam rukun hidup mereka. Akhirnya, kondisi ini juga membentuk mentalitas, bahwa padam setiap hari setiap malam menjadi tidak ada persoalan.

Mentalitas ini akhirnya melahirkan garis lurus yang memisahkan dua hal. Daratan Madura berlistrik, dan daratan pulau tanpa listrik.

Di satu sisi, orang Giliraja terdidik mentalnya untuk kuat tanpa listrik, tapi di sisi lain, pendidikan dan hal-hal lain di pulau tidak maju karena banyak fasilitas tidak bisa menyala tanpa listrik. Sementara orang di daratan Madura, di satu sisi rapuh mentalnya menghadapi pemadaman listrik, tapi lebih maju dari kepulauan.

Saya tidak hendak menyodorkan satu mentalitas di antara keduanya untuk dipilih. Sebab satu fakta penting di antara keduanya yang harus dipahami adalah timpangnya kemajuan antara kepulauan dan daratan Madura yang disebabkan perbedaan suplai apa yang disebut tadi sebagai oksigen.(*)

*Penulis adalah Wartawan Jawa Pos Radar Madura sekaligus Ketua Forum Wartawan Pamekasan. Tulisan ini juga diterbitkan di Jawa Pos Radar Madura pada 13 Maret 2022.

Artikel ini telah dibaca 138 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Sebuah Hipotesa tentang Asal Muasal Kerusakan Sesuatu

18 Oktober 2022 - 19:01 WIB

Ongky Arista UA

Meneroka Konsep Komunikasi Positif Bupati Baddrut Tamam

14 September 2022 - 21:53 WIB

Ongky

Religiusitas di Balik Pojhur

3 September 2022 - 23:11 WIB

Genealogi Nalar Egois

1 September 2022 - 09:58 WIB

UKW sebagai Narasi Kritik Kerja Jurnalistik “Saya”

27 Agustus 2022 - 21:18 WIB

Kritik

Penjaga Toko, Dosen, dan Kendali di Tangan Anda

28 Mei 2022 - 16:45 WIB

Trending di Sudut Pandang