Sebuah Pengantar
Suatu malam di awal September 2022, saya bertamu ke Bupati Pamekasan di Pendapa Ronggosukowati. Saya, dan seorang teman diterima di ruangan sebelah timur peringgitan.
Seperti biasanya, pertemuan saya dengan bupati diisi diskusi. Mulai dari diskusi soal kegemaran membaca buku dan pengaruhnya bagi pikiran, kegiatan menulis dan pengaruhnya, dan satu lagi yang krusial, soal paradigma masyarakat mutakhir ini.
Dari sekian pertemuan sejak 2019 lalu, saya mencatat, bahwa diskusi paling sering dikemukakan Ra Baddrut ialah soal paradigma masyarakat.
Kalau kita tengok KBBI, paradigma maksudnya adalah kerangka berpikir; cara masyarakat berpikir; cara masyarakat menanggapi sesuatu; cara masyarakat menyelesaikan sesuatu dan seterusnya.
Dan turunan dari pembahasan paradigma ini ialah ihwal karakter antagonis di tengah masyarakat, krisis pola komunikasi positif dan disrupsi.
Tiga poin ini sering dikemukakan Ra Baddrut dalam setiap kesempatan berdiskusi hingga larut malam–dan mungkin, beberapa orang yang bertemu dengannya juga mengalami hal yang sama.
Saya akhirnya merasa gelisah bila tidak menuliskan ini. Sebab, pikir saya, tidak semua orang berkesempatan bertamu dan bertemu bupati lalu berdiskusi di luar forum yang formal.
Dan tulisan ini, saya kira penting untuk dikemukakan–barangkali bisa–untuk membantu beberapa orang memahami atensi Bupati Pamekasan pada diskursus paradigma sosial masyarakat.
Krisis Komunikasi Positif
Malam itu, Bupati Baddrut menyinggung langsung soal nada negatif sebuah guyonan dan percakapan sehari-hari di tengah masyarakat.
Dia mengambil contoh beberapa ucapan sederhana bernada negatif yang kerap dilontarkan seseorang kepada seseorang yang lain. Misalnya:
“Kok, kamu tambah gemuk? Kok, tambah jelek? Mau ke mana juga, sekolah tinggi-tinggi ujung-ujungnya kembali ke kampung…,” dan banyak ucapan lain yang bernada serupa dan kurang mensupport.
Dia menilai, betapapun itu hanya sebuah guyonan, jika ucapan-ucapan itu dipraktikan dan didengar terus-menerus, maka yang muncul di tengah-tengah masyarakat bukan support sistem positif, tetapi justru sebaliknya; destruktif
Ucapan-ucapan bernada mengerdilkan ini, kata Bupati Baddrut, akan mengerdilkan mental sosial, mengerdilkan mimpi seseorang dan pada akhirnya, akan menciptakan ruang pesimistis, pasrah dan stagnan.
Ruang pesimistis dan pasrah ini tidak akan mendorong sama sekali seseorang melahirkan sesuatu yang baru (kreativitas). Maka, masyarakat akan hidup dalam situasi “tertinggal” secara terus-menerus.
“Apa susahnya kita memberikan kata-kata positif, memberi dukungan, berkata-kata yang membangun, tidak bayar, kan? Tidak mahal, kan?” kira-kira begitu kata Bupati Baddrut malam itu, dengan raut muka heran.
Tidak hanya menyinggung pola komunikasi negatif di tengah masyarakat, Bupati Baddrut juga menyinggung pikiran-pikiran sejumlah oknum kepala OPD yang juga terbelenggu pada status quo dan bahkan cenderung pesimistis.
Dia menyebut, dirinya mengetahui bahwa beberapa mental kepala dinas di Pamekasan hanya mencari aman. Tidak bisa diajak berlari menyukseskan program-program pemerintahan. Mereka duduk di posisi yang penting aman. Tidak mau diajak melangkah out of the box.
Dia mengaku mengetahui itu semua. Bahkan, dia secara terus-terang mengaku sempat down dalam beberapa hari karena serapan anggaran yang rendah. Kontrak kerja yang diteken kepala OPD tidak sukses terealisasi dan jauh dari harapan.
“Ada kepala OPD yang mengatakan, saya sudah tua, anak-anak sudah besar, apalagi yang mau dicari, tidak usah terlalu ngoyo bekerja,” kata Ra Baddrut menceritakan statement pesimis oknum kepala OPD yang dia dengar.
Dia menilai, mental lembek, mental cari aman, mental pasrah dan pesimis seperti itu lahir dari rahim konstruksi komunikasi negatif yang ada selama ini; lahir dari gersangnya support sistem positif.
Sehingga, orang-orang dari kelas proletar hingga kelas elit terjebak pada pola pengerdilan; mengerdilkan orang lain dan mengerdilkan dirinya sendiri.
Saling mengerdilkan, dan mengerdilkan diri sendiri adalah interaksi yang tidak sehat dan tidak produktif.
Pada akhirnya, masyarakat hidup hanya bisa melakukan hal yang biasa-biasa saja. Bekerja sebagaimana biasanya. Bertugas sebagaimana biasanya. Yang penting aman. Yang penting selesai dan seterusnya. Tidak muncul di sini gairah untuk berkontribusi lebih. Tidak lahir di lingkungan semacam ini impian berbuat lebih kreatif, lebih inovatif dan seterusnya.
“Makanya saya sering bilang, tidak ada cara biasa yang bisa melahirkan hal-hal luar biasa, sebab hanya cara luar biasa yang melahirkan hal luar biasa,” katanya.
Support sistem negatif ini juga akan berimplikasi pula pada pola kompetisi. Akan lahir kompetisi yang penuh intrik. Kompetisi ini tidak mencetak generasi emas tapi mencetak generasi culas. Generasi yang apabila menang akan menginjak dan apabila kalah akan merongrong.
“Hanya orang-orang yang keluar dari konstruksi ini yang akan menggapai apa yang dicita-citakan,” kata Ra Baddrut, lalu menyulut rokoknya.
Karakter Antagonis
Salah satu yang juga kerap disinggung Ra Baddrut adalah karakter antagonis–karakter ini didefinisikan sebagai kacamata atau sudut pandang yang hanya fokus pada kesalahan seseorang atau, memandang seseorang itu selalu penuh dengan kesalahan.
Dalam pengertian leksikal, antagonis itu berarti orang yang suka melawan, atau seorang tokoh yang diposisikan (cenderung jahat) untuk selalu melawan tokoh utama dalam karya sastra atau film.
Tetapi saya melihat, karakter antagonis dalam pengertian Ra Baddrut lebih ke arah sikap seseorang yang kerap menyalahkan orang lain dan memandang orang tersebut selalu salah dan tiada sama sekali kebenaran di dalam dirinya.
“Orang seolah-olah salah terus, tidak ada benarnya sama sekali,” sebutnya.
Diskusi ini–hemat saya–bisa saja Ra Baddrut sodorkan karena pemerintahannya “diserang” kaum antagonis dalam pengertian di atas. Tetapi bisa saja maksudnya, akhir-akhir ini, dia sedang gelisah dengan orang-orang yang melihat sesuatu seolah-olah tidak ada benarnya sama sekali.
Dalam sebuah kesempatan wawancara pada 2020 lalu, dia menegaskan hal ini; “Satu genting saja yang jatuh seolah-olah kesalahan besar, padahal bangunan masih utuh dan genting lain masih utuh,” katanya.
Ia seolah-olah menginginkan lahirnya pola pikir yang obyektif. Yang salah silakan salahkan. Yang benar, silakan benarkan. Ia menginginkan, kesalahan dan kebenaran tidak lahir dari subjektivitas (sentimen pribadi), tetapi lahir dari objektivitas (obyek masalah itu sendiri).
Kegelisahan tentang karakter antagonis ini tampaknya sudah lama dirasakan politisi PKB ini. Dan, saya melihat, kegelisahan ini tidak sekadar ia ingin mengamankan citra politiknya sehingga tidak ada lagi tudingan kesalahan-kesalahan tak berdasar datang kepada sistem pemerintahannya–walau bisa saja demikian.
Tetapi, saya melihat, lebih dari itu. Tampaknya dia ingin menciptakan energi serba positif. Di mana, energi positif ini diyakininya akan menciptakan energi susulan–yang saya sebut kemudian sebagai energi rukun atau energi kolaboratif.
Seseorang yang pikirannya positif akan mudah berteman (rukun) dengan orang lain–ini hukum moral yang kita pegang selama ini. Dan bilamana pikiran-pikiran positif ini bertemu satu sama lain, maka mudah sekali untuk menjalin kerja sama (berkolaborasi).
Pada akhirnya, akan lahir support sistem positif. Seseorang akan saling mendukung satu sama lain. Seseorang akan bertukar gagasan satu sama lain. Seseorang akan berbagi semangat satu sama lain dan mendorong kerja keras satu sama lain. Ini akan menjadi perlawanan atas “kultur” interaksi negatif yang ada selama ini.
“Saya bukan antikritik, sampaikan apa gagasannya, mari kita diskusi,” terang Ra Baddrut dalam suatu kesempatan.
Tetapi satu yang mungkin terlewati (left behind) oleh Ra Baddrut. Bahwa, setiap zaman selalu ada orang-orang berkarakter antagonis. Setiap zaman selalu ada orang-orang yang pesimis. Setiap zaman selalu ada orang-orang yang hanya mencari aman. Termasuk, di dalam tubuh pemerintahannya sendiri.
Dan, sepertinya, Ra Baddrut melupakan itu–atau mungkin menyepelekan itu. Sehingga, hanya dirinya sendiri yang berpikir positif ke depan, berpikir maju ke depan, dan memikirkan inovasi-inovasi ke depan.
Sementara orang-orang di sekelilingnya, dan sebagian masyarakat, masih sibuk mencari panggung aman, berebutan jatah aman, dan berebut “kue” dan melupakan gagasan cerdik pemimpinnya.
Tetapi saya kira, Ra Baddrut bukan orang yang baru belajar tentang lalu lintas pemerintahan. Dia mengetahui semua kondisi itu; masyarakat dan mental pejabatnya. Tetapi dia belum mengeksekusi jalan keluar yang telah dia pikirkan selama ini.
Dan sebagai soft therapy, dia hanya bisa menyinggung berkali-kali–dan sungguh berkali-kali–mereka-mereka orang dekatnya yang belum keluar dari kultur interaksi negatif dalam pidatonya di hampir setiap kegiatan.
Disrupsi
Saya lupa itu tanggal berapa, tetapi yang pasti, itu bulan Maret 2022. Saya diajak naik ke mobilnya. Waktu itu, saya sedang meliput kegiatannya di Kelurahan Jungcangcang. Di dalam mobil, Ra Baddrut menyinggung soal disrupsi ini.
Secara sederhana, dia kerap mengistilahkan disrupsi sebagai era pancaroba. Era peralihan model interaksi secara fundamental akibat kemajuan zaman di bidang tekhnologi.
Ra Baddrut gelisah dengan situasi disruptif ini. Salah satu yang ia lihat dari efek era ini adalah betapa orang mudah menjustifikasi sesuatu tanpa melihat sesuatu itu secara utuh.
Era ini ditandai oleh mercusuar industri 4.0. Alat-alat canggih tumbuh pesat. Informasi yang dulu tersebar melalui kanal khusus sekarang menyebar melalui berbagai kanal baru yang mustahil dikendalikan.
Bahkan, era ini adalah era ledakan informasi, era surplus informasi, era di mana, informasi tersaji cepat, cenderung tidak utuh, karena lahir dari sebuah ledakan kemajuan.
Ra Baddrut menyebut, banyak orang tidak siap menghadapi ini. Tidak siap secara intelektual dan tidak siap secata mental.
Sebagai akibat dari hal itu, bermunculan orang-orang yang mudah sekali mengonsumsi sesuatu secara sepotong, mengonsumsi sesuatu yang sepintas saja, bahkan, mudah sekali bagi orang-orang akhir-akhir ini mengonsumsi berita yang sama sekali bohong.
Dampak turunannya, bermunculan orang yang suka menyimpulkan sesuatu secara sepihak tanpa melihatnya secara utuh. Bermunculan orang-orang yang menyantap sesuatu mentah-mentah tanpa memasaknya terlebih dahulu.
Akhirnya, sesuatu serba-mentah di kepala masyarakat. Sesuatu serba-sepintas di kepala masyarakat. Sesuatu serba-sepotong di kepala masyarakat. Dan pada ujungnya, ini akan melahirkan kerangka berpikir yang amat sangat dangkal.
Kedangkalan berpikir ini–hemat saya–dapat dilihat dari dua gejala; pertama, kegemaran menyalahkan orang di sekitarnya, sebab, air yang dangkal memang akan mudah keruh dan kedua, suka berbicara (muntah kata) tanpa dasar kebenaran karena telah mengonsumsi sesuatu secara mentah-mentah.
“Kita berhadapan dengan situasi masyarakat yang demikian, yang belum siap mengadopsi konsep-konsep kemajuan,” kata Ra Baddrut.(*)
*penulis adalah mahasiswa Manajemen Pascasarjana IAIN Madura