Dalam beberapa tahun terakhir, saya memilih menahan diri berkomentar, atas suatu perkara. Kecuali saya telah membaca teks berkaitan dengan perkara tersebut.
Urusannya dengan aturan tentang pengeras suara yang dikeluarkan Menteri Agama, saya sudah membaca Surat Edaran (SE) 5/2022 tentang Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala. Yang dikeluarkan Menag pada 18 Februari 2022 lalu.
Di poin (c) ketentuan–dan saya rasa ini bagian paling pentingnya–saya tidak menemukan aturan yang intimidatif. Sebab, 1] azan salat lima waktu tetap harus menggunakan pengeras suara luar. Ya, seperti dan sebagaimana biasanya. 2] takbir 1 syawal juga seperti biasanya, pakai pengeras suara luar. 3] salat Idul Fitri dan Adha, juga pakai pengeras suara luar, masih sama sebagaimana di kampung-kampung. 4] PHBI, kalau ada penceramah dan banyak yang hadir, juga boleh pakai pengeras suara luar.
Artinya, regulasi ini tidak menggeser esensi apa pun berkaitan dengan azan dengan pengeras suara. Namun sayang, beberapa orang menganggap, Kementerian Agama menghapus azan dengan pengeras suara atau tidak membolehkan azan dengan pengeras suara.
Orang yang beranggapan semacam ini, biasanya orang yang terpacu untuk gaduh-gaduhan sebelum membaca isi regulasinya.
Jadi memang, kita lebih suka kegaduhan daripada menelaah esensinya. Esensi dari wawancara Menag yang kontroversial beberapa hari kemarin itu adalah regulasinya–surat edarannya.
Nah, orang yang tidak membaca esensi ini, akan berpikir bahwa azan itu tidak dibolehkan memakai pengeras suara luar–bahkan dianggap tidak dibolehkan memakai pengeras suara sama sekali. Padahal di dalam regulasinya diatur bahwa azan salat lima waktu tetap memakai pengeras suara luar.
Selebihnya pembahasan, saya memilih menahan diri, sudah sejak beberapa tahun terakhir, untuk mengomentari sesuatu yang jauh. Karena, sesuatu yang jauh–jauh dalam maksud sempit atau luas–tidak mudah ditangkap akal.
Apa yang tidak mudah ditangkap akal, berarti tidak mudah dikuasainya. Dan apa yang tidak dikuasai, namun dipaksakan untuk didiskusikan, maka hasilnya bisa jauh dari kebenaran.
Maksud saya, untuk apa habis-habisan mengeluarkan energi untuk urusan yang kita sendiri tidak bisa menghadirkan kebenaran atasnya?
Apakah tidak lebih baik membeli gorengan, yang jelas wujudnya, jelas juga minyak gorengnya, daripada menggoreng isu keagamaan. Wallahua’alam(*)
*penulis adalah Ongky Arista UA