Sejak menjadi jurnalis pada 2019 lalu, saya berpikir, bahwa tugas pewarta adalah menulis berita. Hanya menulis berita dan sungguh hanya menulis berita. Namun, pikiran saya ternyata keliru. Keliru besar. Sungguh keliru. Dan sangat keliru.
Dan betapa malangnya, kekeliruan berpikir itu baru saya sadari pada November 2021. Ketika untuk pertama kalinya saya membaca utuh kata pengantar Goenawan Mohamad (GM) dalam buku Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, Sembilan Elemen Jurnalisme.
“Jurnalisme tidak bermula dan tidak berakhir dengan berita. Sikap ingin tahu adalah awal dan dasarnya,” begitu kata GM. Menelaah pernyataan GM ini, membuat saya menyesali satu hal dan mempertanyakan satu hal lain.
Pertama, saya menyesali sebab terlambat membelejeti buku yang menjadi rujukan ‘mati-matian’ Andreas Harsono menulis buku, A9ama Saya Adalah Jurnalisme–buku yang membantu saya memahami cara kerja perusahaan dan insan pers selama ini.
Kedua, saya mempertanyakan satu hal lain. Mengapa, kerja jurnalistik lebih identik–bahkan kalau boleh disebut diidentikkan mati-matian–dengan mencari dan menulis berita? Mengejar berita hingga kejar-kejaran dengan narasumber?
Pun saya akhirnya sedikit berpikir. Untuk menjawab pertanyaan di poin kedua.
Mula-mula saya mengafirmasi bahwa pernyataan GM benar. Jurnalisme tidak bermula dan berakhir dengan berwujud berita. Kasarnya, jurnalisme secara esensial bukan persoalan berita. Namun, sikap ingin tahulah yang menjadi awal dan dasarnya, yang menjadi esensinya.
Saya pun kembali menelaah. Ternyata, GM mencoba menghadirkan diferensiasi. Bahwa berita dan rasa ingin tahu itu berbeda. Tidak semua berita lahir dari rasa ingin tahu.
Tidak semua rasa ingin tahu ditunaikan dengan menulis berita. Berita bisa saja tidak ada kaitannya dengan rasa ingin tahu. Berita bisa saja tidak ada hubungannya dengan rasa ingin tahu.
Saya pun menelaah realitas wartawan di Madura. Sebagai wartawan, saya tentu sangat mudah bertemu dengan banyak teman wartawan.
Dan, ketika kita mulai berbicara berita, muaranya pada dua hal. Pertama, menulis berita karena tugas kantor. Bukan rasa ingin tahu. Bukan rasa ingin belajar. Profesi wartawan lebih dinikmati sebagai pekerjaan mencari penghasilan.
Sehingga, menulis berita sekadar memutus mata rantai list berita yang menjadi perintah perusahaan. Muaranya, menulis berita dimaknai sama dengan pekerjaan kuli bangunan. Yang kemudian dipelintir dengan kesimpulan klise, “Wartawan adalah kuli tinta.”
Pada fenomena pertama ini, jelas berita tidak ada kaitannya dengan rasa ingin tahu. Tetapi berita ada kaitannya dengan rasa ingin mematuhi peraturan perusahaan. Dan bila demikian skema kerja jurnalismenya, pada akhirnya, nilai berita sekadar produk jualan perusahaan.
Kita bisa bersama-sama bisa membayangkan, ketika berita bukan lagi menifes dari rasa ingin tahu, tetapi justru adalah produk perusahaan.
Kedua, perbincangan soal berita juga kerap bermuara kepada kepentingan transaksional. Seseorang menulis berita bukan karena rasa ingin tahu, tapi rasa ingin bertransaksi. Ini mungkin dan sangat mungkin terjadi ketika berita ditulis bukan berdasar pada rasa ingin tahu, tetapi kepada rasa ingin transaksi.
Tetapi, ya, sudahlah. Barangkali sudah menjadi rahasia umum, bahwa kita kerap menemukan fakta; ada berita yang tiba-tiba lenyap dari permukaan halaman koran utama, dari website perusahaan media dan majalah-majalah. Padahal sebelumnya, dengan heboh memenuhi halaman utama.
Ah, ya, sudahlah. Barangkali semua kita terjebak dan terus terjebak secara sistemik pada model kedua ini.
Dan saya pun kembali merenungi pernyataan GM di atas. Rasa ingin tahu adalah awal dan dasar jurnalisme. Dan saya akhirnya menemukan satu penganalogian. Bahwa seorang jurnalis tidak ubahnya seorang murid atau santri yang menuntut ilmu; bertanya dan mencari tahu; belajar.
Di mana setiap hari, jurnalis bertemu dengan kejadian dan fakta-fakta. Kemudian sang jurnalis harus berusaha mencari tahu. Mengkaji dan menggali data di lapangan. Menemui narasumber. Bertanya-tanya kepada narasumber.
Bertanya karena ingin tahu. Karena ingin belajar. Karena merasa tidak tahu. Karena memang tidak tahu. Karena merasa kurang paham. Karena memang tidak paham. Bukan untuk menunaikan kewajiban. Bukan untuk kepentingan transaksional.
Dan, akhirnya, fakta-fakta di lapangan adalah guru. Narasumber adalah guru. Guru yang baik idealnya akan mendorong murid melahirkan karya baik. Guru yang buruk akan membuat murid melahirkan karya yang buruk.
Guru yang baik idealnya akan melahirkan murid yang baik. Guru yang buruk akan melahirkan murid yang buruk–meski bisa saja, gurunya sudah baik namun murid tetap nakal atau gurunya buruk namun muridnya tetap baik.
Dan, jika guru, dalam konteks ini adalah seorang pejabat, maka konsepnya tetap sama.
Pejabat yang berbuat kotor akan melahirkan karya-karya jurnalistik atau berita yang isinya kotor. Pejabat yang baik, akan melahirkan karya-karya jurnalistik yang baik. Pendeknya, karya wartawan akan menjadi baik di tengah pemerintahan yang baik dan berlaku sebaliknya.
Dan, ketika jurnalisme lahir dari rasa ingin tahu, maka tidak akan ada karya jurnalistik bisa dikendalikan. Karena rasa ingin tahu adalah dasar–sebagaimana disebut dalam pelajaran ilmu filsafat dasar–dari pengetahuan.
Sekali orang ingin tahu, mereka akan mencari tahu hingga tuntas. Namun berbeda kasusnya, jika berita sekadar rukun bekerja pada perusahaan dan niat transaksional.
Dan, Forum Wartawan Pamekasan (FWP) baru saja meluncurkan Gedung Studi Pers dan Hoaks. Di mana nanti, gedung ini akan menjadi perhelatan diskusi tentang jurnalistik. Tentang apa yang disebut GM, bahwa jurnalisme, tidak selesai hanya urusan berita.(*)
Penulis adalah Ongky Arista UA. Pernah bekerja sebagai wartawan Jawa Pos Radar Madura Biro Pamekasan,
Ketua FWP Pamekasan dan penggagas Podcast Mahasiswa.