Cerita tentang orang yang memilih pergi, dan tidak jadi membeli barang yang sudah diniatkan, karena sikap penjaga toko yang dingin. Tentu sudah banyak kita dengar.
Lalu diakhiri dengan rekomendasi, “Mending tidak usah beli di situ, baru jualan gitu aja songong.”
Kejadian semacam itu tidak lagi menjadi cerita bagi saya.
Suatu siang ketika hendak memesan minuman di sebuah kafe. Hampir satu menit saya berdiri, dan si Mbak penjaga kafe masih asyik memainkan hapenya walaupun tahu bahwa saya sedang mematung menunggunya bertanya, “Mau pesan apa?”
Saya hampir melakukan sebagaimana yang orang-orang lakukan. Tidak jadi memesan lalu pergi tanpa pamit dengan maksud memberi pelajaran pada penjaga kafe. Bahwa penjual harus respek kepada pembeli yang katanya adalah raja.
Tapi saya urungkan. Saya datang ke kafe untuk ngopi. Menuntaskan janji dengan teman. Tidak untuk memberi ‘pelajaran’ kepada siapa pun, termasuk Mbak penjaga kafe.
Saya datang dengan niat menyantaikan diri dan berbincang dengan teman. Lalu kenapa dengan sikap si Mbak, saya harus jengkel dan merasa perlu mangajarinya sesuatu?
Cerita lain yang sama jamaknya adalah ketika mengirim pesan WA pada dosen lalu dicukupkan hanya dengan cetang biru. Tanpa meninggalkan balasan apa pun.
Hampir keseluruhan teman-teman menceritakannya dengan nada jengkel. Tapi mereka tahan, tanpa melakukan tindakan balasan untuk maksud memberi pelajaran. Sebab Dia berstatus dosen. Jadi tidak perlu diajari.
Lagi pula, bagaimanapun tanda tangan ‘beliau’ ini dibutuhkan untuk menjadi sarjana atau Magister.
Dua kejadian berbeda, sama alur, sama dampak.
Baik orang yang datang ke toko lalu pergi karena merasa dicueki, maupun mahasiswa yang kemudian jengkel karena pesannya hanya di-read. Mereka adalah korban. Korban dari ketidakmampuan mengontrol dirinya sendiri.
Lalu secara tidak langsung dikendalikan oleh sikap orang lain.
Bayangkan, kita pergi ke toko untuk membeli sesuatu, tidak untuk hal lainnya, termasuk jengkel. Tujuannya cuma satu, membeli sesuatu. Tindakan penjaga toko adalah hal lain—apakah melayani dengan sigap atau lelet—di luar tujuan kita ke toko, dan itu adalah urusannya.
Kemudian tentang dosen, tujuan mengirim pesan adalah menyampaikan informasi. Informasi kesediaan waktu untuk menemui dosen misal, lalu membuat janji temu atau hal penting lainnya.
Tujuannya adalah menyampaikan informasi. Dibalas atau tidak, itu persoalan si dosen.
Jika penjaga toko tetap saja sikapnya antara sebelum dan sesudah kita datang. Jika si dosen biasa saja sikapnya antara sebelum dan sesudah menerima notifikasi pesan kita.
Lalu kenapa kita bisa berubah perilaku antara sebelum bertemu penjaga toko dan sesudahnya? Kenapa kita hilang kendali? Kenapa pesan yang hanya dibaca tanpa dibalas beralih mengendalikan kita?
Membiarkan hal-hal di luar mengambil kendali atas sikap kita hanya akan memunculkan Joker-Joker lain, yang menjadi jahat karena kebaikannya diabaikan.
Kendali saya dalam tulisan ini hanyalah menuangkan ide, persoalan Anda mengambil pelajaran atau malah menganggap tulisan ini sama sekali tidak penting, itu di luar kendali saya. Kendali sepenuhnya di tangan Anda.(*)
*Penulis, Abdul kholisin, Manajemen Tim dan Konten Podcast mahasiswa.