Ada dua buah buku karya Najib Mahfuz (pengarang Mesir peraih Nobel Sastra tahun 1988) di rak kayu, mulai berdebu di antara tumpukan benda-benda lain di toko kelontong yang saya huni: Bisik Bintang (Kumpulan Cerpen) dan Langit Ketujuh (Novela).
Dua buah buku cerita ini menghamparkan kisah-kisah menakjubkan dan, rasanya cukup beralasan bila hanya Najib Mahfuz yang bisa melakukannya. Tetapi untuk tulisan ini, saya hanya ingin mencatatkan beberapa paragraf untuk “Bisik Bintang”.
Tipis
Buku ini tipis belaka meski memuat 18 cerpen di dalamnya, hanya 75 halaman, itu pun terpotong 5 halaman untuk kata pengantar yang ditulis dengan bagus oleh Muhammad Syu’air, seorang penulis dan jurnalis terkemuka di bidang kebudayaan, redaktur pelaksana berkala sastra Mesir, Akhbar Al-Adab.
Diterjemahkan dari Bahasa Arab oleh Muasomah, dan diterbitkan Marjin Kiri bulan Desember 2020. Tiap-tiap cerita ditulis begitu ringkas. Hanya perlu waktu lima menit atau bahkan lebih sedikit saat membaca cerpen yang paling panjang sekali pun di buku ini.
Tapi jangan bayangkan cerpen-cerpen Najib Mahfuz dalam buku ini tidak memiliki daya apa-apa. Justru dengan begitu ringkas, dia mencipta gemuruh, yang mungkin bagai suara entah apa di dalam tidurmu, mengusik, membuatmu terjaga di malam pekat.
Cerita-cerita Itu
Mula-mula kita akan berjumpa dengan Zakiya si penjual manisan di cerpen “Pengusiran”. Dia berkitar-kitar menjual manisan seraya membawa bayi di gendongannya yang masih menyusu. Dia baru kembali ke kampung halamannya setelah setahun pergi.
Juragan Usman yang memiliki toko menjadi berang karena kemunculannya. Pembaca akan tahu kenapa Juragan Usman sangat marah pada Zakiya, dan kenapa dia meminta Zakiya untuk tidak mengusik ketenangannya, sampai-sampai Juragan Usman berbisik pada Zakiya, “Jika kau terus-terusan berbuat seperti ini, mayatmu tidak akan pernah ditemukan orang…” Tak hanya itu, juragan Usman juga berkeluh kesah pada Kepala Kampung untuk “mengurus” Zakiya.
Nah, seorang bayi yang berada dalam gendongan Zakiya merupakan anak Juragan Usman (demikian pengakuan Zakiya yang diingkari Juragan Usman), sehingga dia teramat murka pada perempuan itu.
Zakiya terus menampakkan diri di hadapan Juragan Usman—demikian ini adalah caranya untuk membuat lelaki itu menderita. Memang Zakiya keras kepala. Dia tidak mudah gentar dan pantang mundur meski dibujuk oleh kepala kampung untuk pindah ke suatu tempat yang lebih aman dan nyaman dan meski dia juga memperoleh ancaman dari juragan Usman itu, dia melawan lelaki itu dengan tetap tinggal. Zakiya tidak peduli apa pun.
Lantas bagaimana dengan wabah tangisan yang melanda seisi kampung dalam cerpen “Nasibmu dalam Hidup Ini”? Sungguh saya tidak tahu apakah ini murni imajinasi Mahfuz atau dia, dalam suatu waktu di kehidupannya, mengalami atau menyaksikan bagaimana wabah itu berlangsung—sebagaimana yang dicatat dalam kata pengantar buku ini: Najib Mahfuz mengalami.
Ini sesuatu di luar yang saya pikirkan. Kau mengunjungi seseorang di sebuah rumah, dan ketika kau mengetuk pintu, dan saat itu tiba-tiba kau mendengar suara tangisan dari dalam, dan tangisan itu tidak juga berhenti…dan tidak hanya di rumah itu, di tempat lain, entah itu di sebuah rumah berbeda atau lainnya, seseorang juga tiba-tiba menangis, tangisan yang tidak jelas apa penyebabnya, dan kau juga tidak yakin perihal apakah itu…dan seterusnya.
Begitulah rupa wabah tangisan yang diungkap Mahfuz lewat cerita pendeknya itu, dan apakah ini hanya dunia rekaan semata atau semacam metafora Mahfuz bagi sebuah peristiwa yang pernah dialaminya?
Seorang Mantri datang ke tempat yang dilanda wabah itu demi mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi. Dia datang sekaligus untuk menyembuhkan mereka. Namun belum apa-apa, dia nyaris terserang wabah itu juga, ya, hampir saja.
Sungguh pun demikian, di akhir cerita, si Mantri menjumpai tempat karaoke. Dia pun memasukinya. Dia bernyanyi dan menari di sana. Semua orang yang tahu perihal itu datang ke tempat si Mantri berada, dan mereka yang menangis tertawa melihat seorang Mantri menyanyi: “Nasibmu dalam hidup ini pasti menimpamu…”
Terus terang masih ada banyak tokoh dalam cerita-cerita lainnya, dan tidak boleh tidak saya katakan, tokoh-tokoh dalam kumpulan cerita ini seakan-akan adalah orang-orang yang benar-benar hidup di suatu kampung tempat penulis berada.
Mereka ada seraya menanggung nasibnya sendiri-sendiri. Sementara Najib Mahfuz hanya menuliskannya, tanpa menambah atau mengurangi sesuatu yang ada pada diri mereka—seluruhnya terjadi seadanya, bagai perahu-perahu di lautan: yang terapung-apung; merayap di atas air atau yang menari-menari bersama gelombang; begitu pun yang tenggelam ke palung paling dasar. Begitulah.
Ruang Bawah Tanah dan Benteng Kuno
Sebagaimana dicatat dalam kata pengantar, bahwa cerita-cerita dalam buku ini merupakan pengembangan Mahfuz terhadap karya-karya sebelumnya, yang berkaitan erat dengan kampung, dan tentu saja perihal ruang bawah tanah tempat tinggal para gelandangan—orang-orang yang jauh dari kemapanan—yang menyimpan kegaibannya sendiri, dan benteng kuno tempat tinggal hantu dan jin yang berdiri di atas ruang bawah tanah itu.
Saya tidak bisa membayangkan bagaimana ruang bawah tanah itu. Namun saya yakin ruang bawah tanah itu memang ada beserta para penghuninya. Dan serupa apa benteng kuno yang diceritakan Mahfuz, jelas-jelas saya tidak tahu. Tetapi sebuah bayangan melintas di kepala saya tentang itu, bangunan tua dengan segala kekusaman yang renta, yang tampak mengenaskan sekaligus mengerikan, bangunan itu menjulang, menandai perubahan zaman.
Sebuah cerita pendek berkisah tentang seorang anak di benteng kuno, judulnya “Nabqa di Benteng Kuno”.
Dia adalah Nabqa, anak bungsu Adam Saqar. Adam Saqar bernazar kalau punya anak dan tidak mati seperti sembilan saudaranya karena wabah, dia akan menyerahkan anaknya untuk menjadi pelayan surau. Nabqa berusia tujuh tahun ketika diserahkan pada imam surau. Naqba hidup di surau seperti yang dijanjikan ayahnya.
Menjelang usia sepuluh tahun, kedua orang tuanya meninggal. Lalu pada sepuluh tahun usianya, Nabqa pamit pada imam surau hendak pergi ziarah ke makam ayahnya. Dia tetap pergi ziarah dengan alasan sebuah mimpi yang dia lihat meski si imam surau berkata kalau saat itu belum waktunya ziarah kubur. Nabqa menghilang selama tiga hari.
Lalu sebelum habis hari ketiga itu, imam surau melihat Nabqa berjalan dari ruang bawah tanah. Pada momen inilah sesuatu yang ganjil itu muncul ke permukaan: Nabqa, semenjak hari itu, tampak aneh bagi orang-orang. “Saya mengunjungi orang-orang yang meninggal dan mereka memberi saya makrifat dan kekuatan,” jawab Nabqa saat imam surau bertanya kemana saja dia pergi.
Orang-orang kampung pun mengetahui keberanian Nabqa ini, beserta jawaban-jawaban lain yang keluar dari mulutnya. Nabqa sepertinya memang telah memperoleh makrifat, dia tahu rahasia-rahasia para pemuka kampung itu, yang kesemuanya bertolak dari sifat asli mereka. Maka keresahan terjadi di mana-mana, sampai berujung pada pendakwaan kafir atas diri Nabqa oleh si imam surau.
Sementara itu, kita akan menjumpai hal-hal aneh lainnya dari ruang bawah tanah dan benteng kuno dalam cerpen-cerpen lain di buku ini. Saya katakan bahwa ruang bawah tanah dan benteng kuno Najib Mahfuz adalah labirin penuh rahasia, membingungkan sekaligus menyenangkan.
Buku Bisik Bintang memang berisi cerita-cerita pendek yang ditulis begitu ringkas dan ini sudah saya katakan sejak awal—yang ketika selesai membacanya mungkin kita akan tercenung agak lama demi sesuatu yang kita rasakan atau pikirkan, ya, apa saja.(*)
*Jakarta, 2022. Acik Giliraja, penjaga toko kelontong Madura di Jakarta.