Sedikit tentang Sapi Sonok
Cantik. Warna-warni. Serasi. Sinden. Orkes gamelan–suara saronen–dan ratusan pasang mata manusia yang sedang menontonnya dengan antusias. Di bawah matahari yang menyengat kulit.
Itulah suasana kontes Sapi Sonok yang digelar Bakorwil Pamekasan di Stadion R Soenarto Hadiwidjojo pada 2018 lalu. Sapi Sonok ini, salah satu produk–atau warisan–kebudayaan yang cukup penting dan berharga bagi orang Madura.
Oleh sebab Sapi Sonok adalah warisan penting, maka sampai saat ini masih sering digelar kontesnya. Mulai dari pagelaran kontes tingkat kecamatan hingga kabupaten.
Berbeda dengan Karapan Sapi yang adu kecepatan untuk sapi jantan, kontes Sapi Sonok ini memerankan sapi betina dan tidak menilai kecepatan sapi saat berlari.
Istilah Sonok sendiri merupakan singkatan dari Sokona Nongkok atau kaki yang berpijak di atas sesuatu.
Dalam kontes Sapi Sonok, sepasang sapi betina dites berjalan. Di sebuah lintasan sekitar 15 sampai 20 meter. Kedua sapi ini tidak boleh menyentuh garis pembatas tapak.
Sepasang sapi sonok ini diikat kayu melengkung di atas lehernya. Kayu ini sebut Pangonong. Lalu badan sapi juga diberi hiasan kain warna merah dan emas. Bahkan kepala sapi juga dipasangi mahkota agar semakin cantik dan memesona.
Sebelum masuk ke arena kontes, pasangan sapi betina ini diarak mengelilingi lapangan terlebih dahulu. Dengan diiringi Saronen. Kemeriahan menjadi semakin terlihat saat kontes ini dimulai. Sebab saat sapi-sapi sonok itu berjalan di lintasan, orkestra Gamelan dimainkan. Di depan sapi-sapi itu juga menari dan menyanyi seorang Sinden yang membuat penarik tali kendali juga ikut menari.
Di garis akhir lintasan, sepasang sapi akan masuk ke sebuah gapura kayu dan memijakkan kakinya pada balok kayu. Seorang juri kontes Sapi Sonok Abd. Rahman kala itu mengatakan bahwa ada tiga aspek penilaian dalam kontes kecantikan sapi betina Madura ini.
Pertama dinilai dari langkah-langkah kaki sapi atau kecantikannya. Kedua, setiap kaki sapi menyentuh rambu-rambu batas akan dihitung sebagai pelanggaran. Ketiga, setelah sapi itu masuk ke pintu gapura, maka melintasi satu kali saja itu juga masuk dalam pelanggaran.
Salah satu pemilik sapi sonok di Kabupaten Pamekasan Udin Damira mengatakan bahwa Sapi Sonok itu muncul pertama kali di Kecamatan Waru, Kabupaten Pamekasan sekitar tahun 60-an. Pada saat itu, orkes keseniannya memakai Terompet yang besar.
Udin menuturkan, bahwa kontes Sapi Sonok tidak mementingkan menang atau kalah. Piala dan penghargaan. Tetapi lebih kepada mempererat tali silaturahmi. Sekaligus menjaga populasi sapi lokal Madura.
Merawat Sapi Sonok
Sapi Sonok perlu dirawat khusus. Berbeda perawatannya dengan sapi pada umumnya. Apalagi untuk mendapatkan Sapi Sonok ideal. Untuk itulah beberapa pasang Sapi Sonok dihargai hingga ratusan juta rupiah.
Udin menjelaskan, kendatipun postur tubuh sapi dari kecil itu bagus, tetapi perawatannya kurang, maka tumbuh besarnya bisa rusak. Oleh karena itu harus dijamin dengan perawatan prima. Seperti dibuatkan bubur. Dengan jamu kelapa muda dan telur. Serta setiap hari juga dimandikan.
Perwajahan Sapi Sonok
Kontes Sapi Sonok ini juga sudah dikenal banyak wisatawan luar negeri. Terbukti saat kontes Sapi Sonok se Madura yang digelar Bakorwil Pamekasan pada Oktober 2018 lalu, banyak wisatawan Mancanegara yang hadir langsung untuk menyaksikannya.
Salah satu turis yang menikmati kontes itu adalah Roberto Carlos. Dia berasal dari Karibia. “Saya mau tahu lebih banyak tentang budaya Indonesia termasuk Madura, dan saya juga senang sekali bertemu dengan orang-orang Madura,” katanya saat itu.
Jauh daripada itu, budaya Sapi Sonok ini telah dengan sendirinya menjadi perwajahan atau identitas bangsa yang harus dihormati dan dijaga bersama. Tidak sekadar menjadi daya tarik bagi bangsa lain dari belahan dunia, tetapi juga menjadi identitas yang di dalamnya mengandung falsafah hidup. Utamanya bagi orang Madura(*)
*penulis adalah Purnama Iswantoro. Reporter RRI Sumenep-Stasiun Produksi Sampang. Tinggal di Kelurahan Kepanjin, Kota Sumenep.