Lima bulan lalu, saya mengundurkan diri dari kantor tempat saya bekerja. Hampir sebulan saya menyetop aktivitas keluar rumah.
Karena tidak ada tempat parkir khusus, saya memasukkan sepeda motor saya ke dapur. Sepeda saya itu, saya biarkan di dapur selama itu.
Dibiarkan hanya dalam hitungan minggu, jari-jari pelek sepeda saya mulai berkarat, debu di mana-mana, bahkan anak tikus masuk ke dalam jok.
Dalam kasus lain; hampir tiga bulan saya tidak berkunjung ke studio Podcast Mahasiswa. Debu di mana-mana. Sawang di mana-mana. Ruang menjadi suram. Dinding rontok di mana-mana. Itu, hanya dalam hitungan bulan.
Dan, tentu, banyak kasus serupa dalam hal lain; Buku dimakan rayap karena lama sekali tak tersentuh tangan. Baju yang terlalu lama tak dipakai akan dimakan tikus, berjamur dan seterusnya.
Dalam hal pertemanan pun rasanya demikian. Seorang teman yang lama sekali tidak dihubungi, tidak dikunjungi dan diajak bicara, akan kehilangan rasa pertemanannya, sisi emosionalnya dan solidaritasnya.
Kasus-kasus di atas, dalam telaah saya, terjadi karena satu “hukum alam”; bahwa, apa yang tak disyukuri, akan segera rusak, dan jika pun tidak rusak, maka akan berdebu, kotor, suram dan berkarat.
Cara Kerja Rasa Syukur
Saya mengartikan rasa syukur sebagai rasa yang mendorong upaya-upaya pemeliharaan(1) terhadap sesuatu yang dimiliki. Misalnya, rasa syukur atas rumah yang dimiliki, itu setara dengan rasa ingin memelihara rumah itu.
Rasa syukur ini, rasa untuk memilihara sesuatu yang kita miliki ini, biasanya tumbuh dari sebuah penghayatan atas sisi paling superior dari kondisi-kondisi yang inferior(2).
Seorang tukang becak, harus bersyukur karena dia mampu mengayuh becaknya, dibandingkan dengan seorang pria tua yang terbaring lumpuh di rumahnya.
Seseorang yang tidak punya uang dan kesusahan untuk membayar kopi di warung, harus bersyukur, dibandingkan mereka yang menjadi gelandangan selama bertahun-tahun.
Itulah yang saya sebut sebagai penghayatan sisi superior dari kondisi-kondisi yang inferior. Sebuah penghayatan untuk melihat ke bawah. Penghayatan ini, akan mendorong pemeliharaan; perawatan; rasa memiliki dan rasa peduli atas apa yang dimiliki dan apa yang dinikmati selama ini.
Dalam satu waktu, saya pernah mengamati sedetail-detailnya handphone yang saya pegang. Saya melihat layarnya yang begitu bening sejeli-jelinya. Saya lihat perlahan kerangkanya. Saya melihat sinyal internetnya dengan pelan-pelan.
Kemudian, saya menghayati kondisi-kondisi orang yang mau membeli handpone saja susah. Apalagi mau membeli paket data setiap bulan, dan apalagi mau berselancar di internet setiap menit.
Saat itulah kemudian saya tergerak membersihkan handphone saya, membuka softcasenya, dan mengelap bagian sisi-sisinya, sambil lalu menghayati bahwa apa yang saya miliki ini tidak dimiliki oleh semua orang. Saya, memiliki sesuatu yang harus dijaga dan dirawat.
Begitulah saya belajar cara kerja rasa syukur. Rasa yang mendorong sebuah pemeliharaan. Rasa yang mendorong untuk menjaga yang ada, merawat yang ada dan memelihara yang ada. Bahwa yang sudah ada dan dimiliki, belum tentu dimiliki semua orang.
Dan, secara otomatis, semakin banyak yang kita miliki, semestinya, juga semakin menumpuk rasa syukur kita; sebuah rasa dan sikap untuk menjaga dan memelihara itu.
Sesuatu yang Rusak Tanda Tak Disyukuri
Hipotesis saya, kerusakan sesuatu tidak lahir semata-mata karena sebuah keniscayaan bahwa setiap sesuatu akan rusak, tetapi justru lahir dari sikap tidak bersyukur.
Pejabat publik, adalah orang-orang pilihan. Tidak semua orang bisa menjadi ASN. Tidak semua orang bisa menjadi kepala dinas. Tidak semua orang bisa mendapat gaji tetap.
Mereka yang spesial ini, semestinya memiliki penghayatan superioritas yang cukup, atau rasa syukur yang sangat tinggi. Sebab, mereka bisa menyaksikan, betapa banyak orang yang inferior, ada di bawah mereka.
Tetapi, bilamana ini tidak disyukuri, maka akan muncul “patologi mental”. Akan ada kepala dinas yang masih merasakan kurang atas apa yang dimilikinya. Akan merasai kekurangan atas apa yang sudah didapatnya.
Orang yang masih merasa kurang–padahal sudah superior di sisi lain–cenderung melihat apa yang dimiliki dan apa yang dicapai sebagai sesuatu yang sudah tidak berarti. Sehingga, mereka tidak merawat apa yang sudah dimiliki, dan apa yang tidak dirawat akan segera rusak.
Pada akhirnya, dia akan terjebak ke dalam rasa rakus; perasaan selalu kurang, karena apa yang dimilikinya dianggap tidak berarti, dianggap masih kecil, dan tidak seberapa. Itulah mengapa Tuhan menjanjikan azab bagi orang yang tidak bersyukur.
Pun pada kasus lain misalnya. Seseorang tidak bersyukur telah memiliki satu unit mobil. Tidak pernah menghayati betapa superiornya ia dibanding mereka yang mencari makan saja kesusahan.
Mereka yang tidak menghayati dan tidak pernah melihat ke bawah ini biasanya akan berambisi untuk menambah dan terus menambah. Di sisi lain, dia mengabaikan yang sudah ada dan dimilikinya.
Karena satu mobil yang dimilikinya tidak dihitung sebagai suatu pencapaian, tidak disyukuri, tidak dirawat, maka pada akhirnya rusak.
Begitulah cara kerja sikap tidak bersyukur. Merusak sesuatu yang ada dan dimiliki.
Begitulah! Apa yang tidak dipelihara, tidak dihayati keberadaannya; harga dan nilainya–karena tergoda pada hal lain yang belum dimilikinya–akan segera menjumpai kerusakan.
Pun, sekali lagi, pada kasus pertemanan. Di antara kita, mungkin sudah memiliki banyak teman yang baik, namun, teman baik ini tidak kita syukuri, dan akhirnya, tak pernah kita rawat dan lenyap di kemudian hari.(*)
_____
*Konten kreator Podcast Mahasiswa