22 Mei 2022 kemarin, Dahlan Iskan ke Pamekasan. Dia diundang Pemkab Pamekasan menjadi pembicara Sarasehan Pendidikan dan Kewirausahaan. Yang sedikit surprise, ke Pamekasan dia membawa Tesla.
Saya tidak tahu jenis Tesla apa yang dibawa Dahlan Iskan. Karena saya tidak banyak tahu soal Tesla. Namun saat mendengar mobil Tesla, pikiran saya secara samar-samar langsung terbawa ke wajah Elon Musk, mobil listrik dan listrik.
Bahwa Tesla adalah salah satu merek mobil listrik di dunia yang cukup populer saat ini. Sementara CEO Tesla adalah Elon Musk–pria yang baru-baru ini trending karena membeli Twitter.
Selain pikiran saya terbawa ke Elon Musk, pikiran saya terbawa pulang ke kampung halaman–ke Pulau Giliraja–saat memandangi Tesla Dahlan Iskan diparkir di sisi timur Mandhapa Agung hari Minggu itu.
Ingatan saya pada Giliraja bukan semacam nostalgiac. Tapi karena ada satu kesamaan antara Tesla dan Giliraja. Yakni, sama-sama butuh listrik. Hanya secara ontologis, keduanya berbeda.
Tesla butuh listrik saat dayanya melemah. Mobil ini harus dicharger. Dengan tarikan listrik 2.000 sampai 2.500 watt. Mobil ini akan mengisi penuh dalam waktu enam sampai delapan jam. Itu pengetahuan umum yang saya temukan di google soal Tesla.
Pulau Giliraja, juga sama. Butuh listik. Bukan karena banyak orang membeli Tesla di sana. Tapi karena memang sejak puluhan tahun lalu hingga sekarang belum ada pasokan listrik seperti yang dinikmati rang-orang di daratan Madura.
Sejak saya lahir, saya belum menikmati PLTD atau PLN masuk pulau. Ini bukan saja pengetahuan umum yang ditemukan di google. Tapi ini fakta dan pengalaman hidup. Pengalaman hidup yang tentu cukup buruk.
Dan saya tidak tahu, apakah Dahlan Iskan saat menjabat sebagai Dirut PLN pada 2009 mengetahui bahwa ada pulau dekat di perairan Sumenep belum teraliri listrik? Saya tidak tahu.
Lalu ketika Dahlan membawa Tesla ke Pamekasan, saya tidak melihat ihwal futuristik. Justru saya melihat realitas ganjil dan begitu jomplang. Bahwa Tesla, adalah sisi lain kemajuan, dan pulau Giliraja yang belum berlistrik, adalah realitas sebaliknya.
Sampai saat ini, orang-orang di pulau Giliraja sebagian besar memakai Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). Lampu yang boleh dipasang hanya berkisar tiga sampai lima watt saja. Ribuan kali lebih kecil dari kebutuhan charging Tesla. Telivisi yang bisa dinyalakan hanya berkisar 25 watt saja.
Maksud saya, Tesla yang dibawa Dahlan Iskan tidak bisa dibawa ke pulau Giliraja. Maksud saya, Tesla yang dibawa Dahlan Iskan justru tampak “mengejek” mentalitas saya sebagai anak yang lahir dari pulau tanpa listrik yang bisa menghidupkan Tesla.
Tetapi jangankan menghidupkan Tesla, di rumah tidak ada percetakan banner dan fotocopy dan alat-alat yang membutuhkan daya listrik besar. Charging handphone saja susah. Apalagi Tesla. Apalagi Tesla dan sungguh, apalagi Tesla.
Jadi, “ambisi” Dahlan Iskan untuk membawa perspektif futuristik dengan membawa Tesla ke Pamekasan, bagi saya, justru menjebak saya pada kesadaran terbelakang.
Bahwa, jangankan berbicara kemajuan, di pulau Giliraja listrik saja tidak selesai. Tetapi untung dan sangat untung, pengalaman hidup tanpa listrik itu sudah menjadi mentalitas saya, bahwa saya tidak mungkin membeli Tesla.(*)
*penulis adalah Ongky Arista UA